Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Tangisan Bayi di Tepi Sawah

25 Agustus 2021   15:40 Diperbarui: 25 Agustus 2021   16:43 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi tepi sawah pada malam hari, sumber: putraadiy via steemit

Malam semakin pekat. Lampu di jalanan sudah redup. Angin berembus kencang, dingin menyayat tulang. Tidak ada seorang pun berjalan di sana. Daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon bertebaran mengotori jalan.

Tiba-tiba isak tangis terdengar. Begitu kencang, membelah kesunyian malam. Suara itu seperti merengek-rengek, meminta tolong minta diperhatikan. Kian keras dalam kian larutnya malam. Entah, dari mana suara itu berasal.

Aku berjalan terhuyung-huyung seperti hilang arah di tengah jalan. Beban pekerjaan yang ada dan terus ada, semakin bertumpuk dan menyesakkan pikiran. Aku pun hampir jatuh jika suara itu tidak terdengar.

"Pak, ada suara?" tanyaku pada seorang penjual minuman di tepi jalan.

"Tidak ada, Pak," jawabnya sembari menoleh ke kanan kiri.

Aku belum tuli. Aku benar-benar mendengar tangisan.

"Bapak benar tidak dengar?"

Ia hanya menggeleng. Karena tangisan itu semakin mengganggu, aku mencarinya. Ada sepetak sawah di tepi jalan, terpisah dengan sebuah parit. Ilalang-ilalang tumbuh lebat di sana bersama padi yang telah menguning.

Aku mendekati tempat itu. Aku melompat menyeberang parit. Suara itu semakin jelas, seperti memanggilku ke sana. Dalam penglihatanku yang sedikit samar, kusibakkan ilalang-ilalang yang bertumpuk itu.

Aku tidak percaya. Mataku terbelalak. Apa yang kulihat di depan mata betul-betul mengejutkan. Ada sekotak kardus cokelat berisi seorang bayi. Bayi itu diselimuti handuk putih hangat. Ada warna merah di sana-sini, seperti darah. Aku membaui dengan benar. Ya, aku tidak salah. Itu bau amis darah. Kepalaku pusing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun