Apakah kau benar-benar sudah melepaskan hatimu dari kekasihmu yang dulu? Untuk apa kau mencariku jauh-jauh sampai sini? Apakah kau termakan omongan Mirna, sahabatmu itu? Apakah kau punya rasa kepadaku? Atau, kau hanya sekadar ingin menyegarkan diri menghirup oksigen dari pohon Beringin kita pada siang yang begitu panas ini?
Aku tidak mau besar kepala seperti orang yang sedang benar-benar dibutuhkan. Aku pun tidak ingin terlalu masuk dalam harapan yang berlebihan, tetapi ternyata hanya mengecewakan diriku.Â
Lima menit aku diam menyaksikanmu. Pandanganku tidak kualihkan ke mana pun. Engkau sudah duduk di bangku taman itu. Engkau menyibakkan rambut panjangmu dan merapikan sedikit bulu matamu.
Bulu mata itu. Aku masih mengingatnya. Bagaimana bulu mata itu hancur karena tangismu yang tidak kunjung berhenti. Sempat kau perbaiki sebentar, tetapi karena malu, kau memintaku untuk mendekapmu, agar orang-orang di sekitar tidak melihatmu.Â
Kau tidak berubah memang. Paling pintar dalam merias diri. Tetapi jujur, aku paling suka dengan kecantikanmu tanpa riasan sore itu. Ketika aku duduk di bangku halaman rumahmu dan engkau datang dengan rambut teracak-acak karena baru bangun tidur. Kulit wajahmu yang bersih itu tampil apa adanya, tanpa warna-warni di sana sini. Entah, mengapa dalam kesederhanaan tampilan itu, engkau bisa menjadi begitu cantik bagiku.
Tetapi, aku pun tidak menyalahkan jika engkau memilih berias diri. Itu tetap cantik bagiku. Saat itu, sempat ingin kuberitahu ada sedikit lipstik tergores yang keluar dari batas bibir mungilmu, tetapi karena kau tahu sendiri aku tidak pandai berkata-kata, maka kubiarkan saja hal itu. Aku pun takut melukai hatimu karena sedikit teguranku.
Kau menyandarkan punggung di bangku itu. Kau membuka tas perlahan dan mengambil sebuah buku cerita bersampul biru. Aku tersenyum melihatnya. Buku yang pernah kuberikan kepadamu pada hari ulang tahunmu.
Dadaku tiba-tiba sesak. Napasku berhenti sejenak. Angin bertiup perlahan di punggungku. Terdengar gemericik air mancur dari tengah taman.
Masihkah kau ingat tokoh cerita itu? Masihkah kau ingat bagaimana aku menceritakannya kepadamu di taman ini? Waktu mendengarnya, pipimu merah merona. Kau tersenyum kecil.Â
Kau berkata, tidak mungkin ada orang sesetia itu dalam menunggu cinta. Tidak mungkin, ada wanita sebodoh itu, kembali pada cinta yang lama. Tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin. Kau sulit memercayainya. Tetapi, mengapa kau masih menyimpan buku itu?
Aku masih memperhatikanmu. Kali ini, kau melirik perlahan, ke kanan dan ke kiri. Kau seperti mencari seseorang. Aku tahu, kau tidak ingin diketahui orang sedang menunggu. Terus saja kau alihkan pandanganmu ke sekeliling taman.