Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Bawah Pohon Beringin di Taman Itu (Bagian 2)

23 Agustus 2021   13:14 Diperbarui: 25 Agustus 2021   08:50 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sebuah bangku taman di bawah pohon Beringin, sumber: Pixabay.com

Apakah kau benar-benar sudah melepaskan hatimu dari kekasihmu yang dulu? Untuk apa kau mencariku jauh-jauh sampai sini? Apakah kau termakan omongan Mirna, sahabatmu itu? Apakah kau punya rasa kepadaku? Atau, kau hanya sekadar ingin menyegarkan diri menghirup oksigen dari pohon Beringin kita pada siang yang begitu panas ini?

Aku tidak mau besar kepala seperti orang yang sedang benar-benar dibutuhkan. Aku pun tidak ingin terlalu masuk dalam harapan yang berlebihan, tetapi ternyata hanya mengecewakan diriku. 

Lima menit aku diam menyaksikanmu. Pandanganku tidak kualihkan ke mana pun. Engkau sudah duduk di bangku taman itu. Engkau menyibakkan rambut panjangmu dan merapikan sedikit bulu matamu.

Bulu mata itu. Aku masih mengingatnya. Bagaimana bulu mata itu hancur karena tangismu yang tidak kunjung berhenti. Sempat kau perbaiki sebentar, tetapi karena malu, kau memintaku untuk mendekapmu, agar orang-orang di sekitar tidak melihatmu. 

Kau tidak berubah memang. Paling pintar dalam merias diri. Tetapi jujur, aku paling suka dengan kecantikanmu tanpa riasan sore itu. Ketika aku duduk di bangku halaman rumahmu dan engkau datang dengan rambut teracak-acak karena baru bangun tidur. Kulit wajahmu yang bersih itu tampil apa adanya, tanpa warna-warni di sana sini. Entah, mengapa dalam kesederhanaan tampilan itu, engkau bisa menjadi begitu cantik bagiku.

Tetapi, aku pun tidak menyalahkan jika engkau memilih berias diri. Itu tetap cantik bagiku. Saat itu, sempat ingin kuberitahu ada sedikit lipstik tergores yang keluar dari batas bibir mungilmu, tetapi karena kau tahu sendiri aku tidak pandai berkata-kata, maka kubiarkan saja hal itu. Aku pun takut melukai hatimu karena sedikit teguranku.

Kau menyandarkan punggung di bangku itu. Kau membuka tas perlahan dan mengambil sebuah buku cerita bersampul biru. Aku tersenyum melihatnya. Buku yang pernah kuberikan kepadamu pada hari ulang tahunmu.

Dadaku tiba-tiba sesak. Napasku berhenti sejenak. Angin bertiup perlahan di punggungku. Terdengar gemericik air mancur dari tengah taman.

Masihkah kau ingat tokoh cerita itu? Masihkah kau ingat bagaimana aku menceritakannya kepadamu di taman ini? Waktu mendengarnya, pipimu merah merona. Kau tersenyum kecil. 

Kau berkata, tidak mungkin ada orang sesetia itu dalam menunggu cinta. Tidak mungkin, ada wanita sebodoh itu, kembali pada cinta yang lama. Tidak mungkin, tidak mungkin, dan tidak mungkin. Kau sulit memercayainya. Tetapi, mengapa kau masih menyimpan buku itu?

Aku masih memperhatikanmu. Kali ini, kau melirik perlahan, ke kanan dan ke kiri. Kau seperti mencari seseorang. Aku tahu, kau tidak ingin diketahui orang sedang menunggu. Terus saja kau alihkan pandanganmu ke sekeliling taman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun