Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kotak Kematian

19 Agustus 2021   15:59 Diperbarui: 19 Agustus 2021   17:17 452
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika bukan karena ibu masih hidup, saya mungkin sudah meninggalkan jauh-jauh hari pertemuan dengan anggota keluarga ini. Mereka entah dari mana, bisa begitu rumit mempermasalahkan hal-hal kecil, sampai tidak tahu waktu dan tempat.

Memang, saya terlahir paling akhir. Saya tidak tahu bagaimana lebih dahulu mereka dibesarkan. Saya pun tidak tahu, dari mana mereka belajar. Sejak peristiwa ibu jadi bisu setelah melahirkan saya, semua masih jadi pertanyaan. Jika ayah adalah sumbernya, saya tidak mungkin percaya.

Saya tahu sosok ayah. Kendati ia bekerja keras, berangkat dari pagi dan pulang sore hari, selelah-lelahnya bekerja, ia masih menyempatkan diri bermain dengan saya. 

Mengajak saya ibadah ke tempat ibadah dan berulang kali mengajarkan untuk berbagi. Saya tidak pernah lupa, bagaimana ayah selalu menyisihkan sebagian uangnya meskipun didapat sangat sedikit dari bekerja, untuk membantu anak yatim piatu lewat pemberian dalam kotak amal. Itulah rutinitas ayah sebelum kami meninggalkan tempat ibadah.

"Kalau kamu sudah besar, jangan lupa perhatikan anak yatim piatu," bisik ayah di telinga saya, sejenak setelah ia menggendong saya di atas bahunya. Ada tetesan air mata mengalir di pipi. Ayah sesekali malu saya lihat. Setelah besar, saya baru tahu dari paman, bahwa dulu ayah seorang anak yatim piatu.

Tidak mungkin saya rasa, sifat kakak dan abang turun dari ayah. Dari ibu tidak pula. Meskipun ibu punya kekurangan, ia tetap setia membuat kue untuk para orangtua yang sudah begitu sepuh, yang menikmati lebih banyak hidup saat masa tua, sendiri, di panti jompo. Ibu tidak perlu bicara tentang kebaikan. Perilakunya adalah pembicaraan paling hebat, yang sejauh ini saya lihat.

"Sudah kamu hitung?" seru abang sambil menunjukkan telunjuk. Saya terdiam di ruang tengah. Baru saja selesai membuka satu kotak. Ia memang layaknya seorang bos, berlagak terus seperti bos di keluarga ini. Suka perintah dan tidak mau bantu. Apa gara-gara anak pertama?

"Jangan lama-lama! Saya tidak punya waktu lagi!" sambung kakak yang juga begitu sombong, suka menyuruh-nyuruh dengan seenaknya. Dari tadi, ia duduk begitu santai di atas sofa empuk, sembari tidak henti melihat gawai.

Sementara ibu masih terdiam di kamar. Ibu belum bisa menerima kepergian ayah. Sehari kemarin, waktu acara perkabungan di pekuburan, saya melihat tanah makam ayah basah. Ibu mengambil selendang tipis sambil menyeka matanya.

"Sedikit lagi, Kak, Bang!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun