Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Hati-hati dengan Larangan "Jangan Mengeluh!"

27 Juli 2021   23:13 Diperbarui: 28 Juli 2021   09:19 438
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengeluh, sumber: Unsplash

Saya punya pengalaman seputar pembahasan toxic positivity, atau boleh dialihbahasakan sebagai "kecanduan positif yang merugikan". Tidak lain dan tidak bukan dari larangan "jangan mengeluh".

Cerita seputar keluarga

Saya dibesarkan dalam keluarga yang sangat "positif". Mengapa saya beri tanda kutip? Karena positif sebisa mungkin ternilai dari luar. Di dalam, cukup anggota keluarga yang tahu.

Kalau dibilang menutup kekurangan keluarga, boleh jadi. Saya dan ketiga kakak dilatih orangtua untuk bersikap positif atas segala hal.

Pandai menemukan alasan bersyukur barang sekecil apa pun guna meniadakan keluhan. Bayangkan, setiap pagi kita masih hidup dan boleh bernapas bebas.

Kita masih bisa makan sekenyangnya dan minum seleganya. Kita pun punya pekerjaan. Bandingkan dengan orang lain yang pengangguran. Berapa banyak orang meninggal setiap hari? Betapa beruntung kita, masih bisa hidup sampai hari ini.

Itu-itu terus dan pemahaman positif lain diajarkan orangtua untuk meniadakan keluhan. Secara jelas, tidak boleh mengeluh, alias jangan mengeluh. Masih banyak alasan positif yang membuat kita bisa bersyukur daripada mengeluh.

Beranjak dewasa

Nilai itu tertanam baik dalam pemikiran saya. Kata "jangan" bahkan saya pahami sebagai sekali pun tidak. Otomatis, sudah berapa tahun saya menjadi "badut" di tengah lingkungan. Menampilkan hal-hal baik, baik dari dalam hati maupun terpaksa. Selalu menghibur, bukan?

Saya pun tumbuh dalam komunitas keagamaan yang kental. Aura positif yang saya tularkan: kerap menampilkan senyuman, tidak bercerita keluh kesah, selalu menyapa hangat, membantu orang lain, dan seterusnya, sangat menjadi berkat bagi sekitar.

Saya bersyukur atas itu. Saya tidak sadari bahwa saya semakin hari semakin positif sehingga akhirnya hidup terasa timpang. Saya tidak tahu bagaimana menyalurkan keluhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun