Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Psikologis Pembeli Saat Melihat Harga

18 Juli 2021   12:56 Diperbarui: 18 Juli 2021   12:59 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harga tanggung, sumber: U-Report

Seorang lelaki berjalan santai di tengah pusat perbelanjaan. Ia melihat, betapa sibuk orang-orang mencari barang. Saat itu, sedang diadakan diskon besar-besaran.

Ia berhenti pada sebuah pajangan. Ia memilih dan memilah jas yang berjejer rapi di depannya. Ia membelai jas itu, seraya ingin tahu kualitas bahannya. Ia mengintip secarik kertas yang terselip di kerah jas. Ia tersenyum.

Sekarang, belanja dipermudah pelaksanaannya. Secara manual ke toko-toko ditahan sementara untuk tidak dilakukan, oleh sebab pengendalian penyebaran virus Corona.

Orang-orang beralih menggunakan sistem daring alias online shopping. Sebagian (seperti saya) tidak terlalu suka, karena tidak tahu wujud barang. Hanya tampilan dua dimensi di gawai.

Banyak pertimbangan orang memutuskan untuk membeli barang, antara lain faktor kesukaan, kualitas bahan, apa yang sedang naik daun, dan kenyamanan produk. Untuk kenyamanan, orang tentu lebih suka produk -- semisal pakaian -- boleh dicoba dulu di kamar pas sebelum membelinya.

Masih ada lagi soal harga. Sebagian sensitif, karena menyangkut langsung dengan kemampuan finansial pribadi. Yang uangnya tinggal gunting, mungkin tidak terlalu masalah.

Harga-harga di etalase toko pun hampir seragam. Tidak pernah bulat. Selalu keriting, dengan mendekati satu nilai tertentu. Sangat lazim dan ada maksudnya.

Mengapa harganya sangat tanggung?

Pertama kali saya agak heran, melihat serempaknya harga-harga tanggung itu. Mengapa harus 999.999, bukan satu juta? Bukankah nominal terkecil uang kita 50 Rupiah (dahulu 25 Rupiah tetapi sekarang tidak berlaku)?

Kecil kemungkinan, pembeli membayar harga dengan uang hampir sedetail itu, semisal sembilan lembar seratus ribu, selembar lima puluh ribu, dua lembar dua puluh ribu, selembar lima ribu, dua lembar dua ribu, sekoin lima ratus, dua koin dua ratus, sekoin lima puluh dan ditambah 49 Rupiah? Dari mana orang mencari 49 Rupiah sebagai penambah 999.950?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun