Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Pada Beberapa Percakapan WA Keluarga

8 Juli 2021   10:24 Diperbarui: 8 Juli 2021   10:32 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tempelan di pagar kantor kakak ketiga, sumber: dokumentasi pribadi

"Ras, kamu masih ingat Ibu A, tidak?" tanya Mama kepada saya lewat grup WA keluarga. Beliau menyodorkan sebuah nama. Saya mencoba mengingat, karena sudah lama tidak pulang kampung.

"Ingat, Ma. Yang rumahnya di sana, kan? Ada apa emangnya, Ma?" jawab saya. Beberapa detik kemudian, Mama berkata, "Barusan dipanggil Tuhan. Kena Covid-19."

Saya tertegun. Saya buka kembali memori bertemu mendiang waktu di gereja. Almarhum orangnya baik banget. Tidak sanggup menyelesaikan perjuangan melawan Covid-19 karena gulanya tinggi.

"Ya, ampun, kenapa akhir-akhir ini banyak yang meninggal ya?" tanya Mama sedikit heran saat hari lain. "Siapa lagi, Ma?" jawab saya berusaha tenang.

Kali ini seorang pendeta yang saya tahu benar semasa kecil juga dipanggil Tuhan. Ceritanya almarhum membantu orang meninggal di dekat gerejanya.

Kemudian almarhum pergi ke pasar untuk belanja. Almarhum tidak mengganti bajunya. Dipakainya istirahat sampai malam. Keesokan hari demam. Dibawa ke fasilitas kesehatan, terdeteksi positif Covid-19. Tidak berapa lama, selesai hidupnya.

Itu baru dua. Masih ada banyak lagi yang sekiranya saya ceritakan hanya menambah duka. Belum lagi ketiga kakak. Kakak pertama di Depok. Dua lagi di Semarang.

"Bantu doa ya, Ma. Ini toko harus tutup lagi. Sementara omset wajib terkejar bulan ini. Kalau tidak, gaji saya dipotong," cerita kakak pertama. 

Ia bekerja di sebuah toko buku. Terpaksalah ia mempercepat penjualan buku secara daring. Pergi pula menawarkan ke daerah-daerah (dengan penerapan protokol kesehatan ketat) semata-mata agar target tercapai.

Itu masih soal pekerjaan. Ia juga bercerita seputar tetangga sekitar. Tetangga depannya positif Covid-19 dan isolasi mandiri. Beberapa tetangga di kanan kiri rumah juga sama. Ia tinggal bersama istri dan seorang anak perempuan kecil. Kalau tidak karena pekerjaan, mereka tetap berdiam di rumah sebisa mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun