Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Memaknai Hal Sepele Guna Memperbesar Sukacita

4 Mei 2021   03:31 Diperbarui: 4 Mei 2021   03:51 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mi ayam yang saya makan, sumber: shutterstock

Hai Diari, saya ingin bercerita.

Ini kisah lampau tetapi masih lekat benar di benak. Dahulu, saya pernah makan semangkuk mi ayam bersama teman. Seperti kebanyakan menu, tersaji mi kuning, suwiran ayam, potongan sawi, bawang goreng, kuah kaldu, bersama kecap dan sambal.

Tidak ada yang spesial. Saya jamin Anda sering menemukan. Ketika makan mi, saya menangis. Entah, teman saya menyadari atau tidak, air mata saya mengalir membasahi pipi, turun, dan menetes ke kuah kaldu.

Apakah karena mi ayamnya tidak enak? Tidak. Rasanya begitu lezat. Itu salah satu warung mi ayam terkenal di sekitar kediaman saya. Apakah karena pelayanan pemilik warung tidak ramah, sehingga begitu mengganggu? Tidak juga. Warungnya ramai, banyak pengunjung. Kami berdesakan dan mengantre.

Pikiran saya melayang ke para gelandangan di jalanan. Apakah mereka sudah makan ya hari ini? Apakah mereka punya uang untuk beli makanan? Apakah mereka pernah menikmati mi ayam?

Seketika air mata saya jatuh menderas. Ada rasa haru menggemuruh dalam dada. Saya memandang diri saya begitu beruntung dan jauh lebih baik dari mereka. Saya masih diberi makan Tuhan dengan keadaan layak.

Seketika setelah berdoa, saya nikmati dengan lahap dan penuh ucapan syukur. Kelezatan makan yang saya peroleh tidak sekadar dari rasa mi ayam, tidak pula dari keramahan pemilik warung, atau tambahan canda tawa teman. 

Tetapi, lebih besar berasal dari keadaan saya yang masih bisa makan detik itu. Pernahkah kita berpikir, bagaimana bila tidak ada yang bisa dimakan, seperti para gelandangan itu?

Saat lain, terjadi pula hal sama. Kali ini saya tidak menangis. Tetapi, berusaha memaknai pekerjaan rutin yang saya lakukan setiap hari. Menyapu seisi rumah.

Rumah saya di desa cukup luas. Ada tiga kamar, ruang tamu, ruang keluarga, ruang makan bergabung dengan dapur. Belum terhitung halaman dan teras rumah beserta garasi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun