Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Kehebatan Kata "Kita" dalam Berbahasa

23 April 2021   10:34 Diperbarui: 23 April 2021   11:35 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengapa orangtua kita semakin tua semakin itu-itu saja yang diceritakan? Kisah tentang kakek dan nenek, para paman dan bibi, dan anak-anaknya yang pernah kita dengar, terus dikisahkan dengan begitu semangat? Apakah tidak ada hal lain di pikirannya? Sesekali kita sebagai anak juga ingin mendengar hal baru darinya.

Pernahkah kita bosan meluangkan waktu untuk mendengar ceritanya, sementara mereka sangat gembira dengan pengulangan-pengulangan itu? Pernahkah kita ingin di tengah jalan, menghentikan begitu saja dan mengambil alih pembicaraan dengan cerita yang sudah kita siapkan? Pernahkah pula itu tidak terjadi karena kita tidak tega memutusnya bicara?

Lantas, apa yang kita lakukan waktu itu? Apakah kita tetap duduk diam dan mendengarkan baik-baik? Apakah kita tinggal pergi saat mereka masih bercerita? Atau, kita memilih bermain gawai? Tentu, kita punya kisah dan cara masing-masing, untuk memberantas kebosanan itu.

Tetapi, kita tidak pernah tahu alasan tepat mereka terus bercerita kisah berulang, karena kita belum tua. Yang pasti, dengan tetap rela memberi waktu, memperlihatkan perhatian, sesekali tanggapan, kita sudah menyenangkan orangtua. Kita juga telah menghormatinya. Orangtua pasti suka bila ceritanya didengarkan. Bukankah kita ketika tua nanti juga berharap seperti itu?

Bahasa adalah soal rasa. Orang bisa tersentuh perasaannya, dapat tercerahkan pikirannya, menjadi terhibur dukanya, karena keindahan bahasa. Lewat bahasa yang tepat, semua pesan berhasil disampaikan sempurna.

Dalam berbahasa, pasti kita memakai kata ganti orang, entah pertama, kedua, atau ketiga. Pertama terdiri dari saya, aku, daku. Kedua, berupa kamu, anda, engkau, saudara. Ketiga, berwujud ia, dia, mereka.

Semua bisa kita pilih sesuka hati ketika berbahasa, baik lisan berbentuk ucapan maupun tulisan di atas kertas. Pernahkah kita rasa, ada tingkatan penghormatan dalam setiap kata ganti itu?

Semisal, untuk membicarakan orang ketiga, yang tertinggi kedudukannya adalah "beliau". Bila orang kedua, "anda" dan "saudara". Sementara "kamu" terasa agak kasar.

Pernahkah Anda menggunakan kata "kamu" saat berbicara dengan orangtua dan atasan?

"Kamu sudah makan, Pak?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun