Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Para Pembeli Waktu

18 April 2021   01:38 Diperbarui: 18 April 2021   07:43 442
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: intisari.grid.id 

Saya mengajak tiga ibu itu pergi bersama. Tidak berapa lama, kami tiba di balai. Sebuah peti berwarna cokelat tua terpajang di atas meja panjang tepat di bagian tengah balai. Sebagian ibu menangis tidak keruan. Ada ratapan kehilangan. Ada dukacita kematian.

"Pak... Pak... mengapa Bapak cepat sekali tiada? Saya belum sempat berterima kasih. Entah, kalau tidak ada Bapak, anak saya mungkin sudah mati." Seorang ibu meraba-raba peti. Ia menciumi tutupnya berkali-kali sambil menangis. Air matanya membanjiri lantai. Ada seseorang memberikan tisu padanya.

Saya tahu ibu itu. Saya dengar, dia membeli waktu untuk menunda kecelakaan anaknya. Bapak penjual waktu memberi sehari baginya. Anak itu diperingatkan ibu itu untuk tidak naik motor. Akhirnya, anak itu selamat.

Seorang ibu menggoyang-goyangkan peti. Peti itu bergeser sedikit melewati tepi meja. Seorang pemuda dengan cepat menyangganya.

"Pak... Pak... jangan mati! Saya masih butuh Bapak. Tolonglah, Pak. Hidup sebentar saja. Tolong saya!"

Ibu itu pun saya tahu. Dia beberapa kali membeli waktu dari si bapak untuk menunda kematian ibunya. Ibu dari ibu itu sering sesak napas, terkena asma akut dan serangan jantung. Setiap kumat, ibu itu selalu mendatangi bapak penjual waktu.

Masih ada lagi yang merengek-rengek. Dan saya pun tahu semua kisah mereka. Apa sih yang tidak diketahui oleh para ibu seperti kami? Apalagi tetangga saya paling pandai bercerita.

Saya tiba-tiba ingat kebaikan mendiang. Seandainya tidak ada dia, mungkin anak saya tidak bisa ikut ujian Matematika. Sekejap pipi saya basah. Kenangan akan waktu yang berharga dan dengan begitu mudah diberi olehnya itu, menghangatkan dada saya. Perasaan haru bergemuruh.

"Baiklah, Bapak Ibu, Saudara-Saudara sekalian. Berhubung Bapak penjual waktu hidup sebatang kara dan tidak ada saudaranya, mari kita bersama-sama mengantarkannya ke peristirahatan terakhir. Nanti sudah disiapkan lima bus. Saudara dapat memilih mana yang masih lowong," pesan kepala warga.

Hampir setiap warga sekota dibantu olehnya. Semua pedagang di pasar pernah mengalami kebaikannya. Jalan menuju pekuburan penuh sesak dengan bus-bus besar, beberapa mobil, dan banyak sekali motor. 

Langit siang itu berubah mendung. Matahari menyingkir. Gumpalan awan pekat, entah dari mana datangnya, mengiringi pengantaran jenazah. Satu dua titik air hujan perlahan jatuh. Semesta seperti bersusah hati, kehilangan orang baik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun