"Tenang. Kalau seperti itu, kami tidak akan jual. Sebelum dimasak, lidah-lidah ini sudah kami beri mantra-mantra, Pak. Setiap orang yang memakannya, memang punya keahlian seperti pemilik lidah. Tetapi, hanya untuk kebaikan."
"Untuk lidah penipu, ia akan mudah berpikir cerdik, mengatur siasat, dan merangkai alibi sedemikian rupa, untuk menjebak para penipu. Untuk lidah pembunuh, dia akan punya kemampuan berbicara mematahkan setiap perkataan para pembunuh yang mengeluarkan teror di mana-mana. Sementara lidah perayu, akan mudah merayu orang-orang untuk berbuat kebaikan dan menghindari kejahatan."
"Jadi, mereka yang makan lidah itu, menjadi semacam orang pemburu kejahatan dan penebar kebaikan, begitu?"
"Iya, begitu, Pak. Mereka akan membantu kami menjalankan misi ini. Kerinduan kami, hanya kebaikan yang ada di kota ini."
Misi? Apa maksudnya misi? Bukankah mereka hanya pegawai restoran? Ah, masa bodoh. Saya sudah begitu takjub dengan khasiat lidah-lidah itu. Ada makanan begitu ajaib di sini. Saya jadi tidak sabar memakan lidah-lidah itu.Â
"Yang ini dimasak tongseng, Pak. Ini digoreng. Sementara ini, ditumis pedas saja."
"Baik-baik, Pak. Segera kami siapkan. Bapak silakan duduk sebentar."
Kami berdua duduk di kursi, menghadap sebuah meja panjang bertaplak merah. Lelaki tua itu membawa sepotong lidah penipu, sepotong lidah pembunuh, dan sepotong lidah perayu.
Ia pergi ke belakang restoran. Ia melewati sebuah pintu yang tertutup sehelai kain gorden hitam. Lewat jendela kaca, saya bisa melihat dapurnya. Dia begitu lihai memasak ketiga masakan itu.
Tidak berapa lama, dengan membawa piring dan mangkuk yang telah tersaji beberapa masakan, dia menghampiri kami.
"Silakan dinikmati, Pak," ujarnya.