Di tengah cerita, dibilang bahwa Da Silva masuk ke rumah, tetapi sekadar masuk dan tidak sempat melihat kepala itu. Di akhir, Da Silva membuka pintu. Tentu, pertanyaan pembaca, bagaimana reaksi Da Silva? Apakah sedih melihat kepala anaknya dipenggal? Apakah geram? Apa pula yang dilakukannya kemudian? Semisal, mungkin mencari pembunuhnya? Pembaca dibiarkan menjawab dengan imajinasi sendiri.
Begitu pun dengan cerpen saya. Saya tidak mengungkap foto siapa di dinding kamar bapak. Hanya, keanehan saja, mengapa untuk melihat foto itu, lakon utama harus menikah dulu. Saya pun menggambarkan lakon begitu penasaran di sepanjang cerita.
Apakah pembaca seakan dikerjain cerpenis?
Sekali lagi tidak, karena ini sekadar gaya cerita. Ada hal-hal menarik yang sebetulnya bila kita sadari lebih penting daripada itu.
Keindahan berbahasa
Cerpen menjadi menarik ketika cerpenis berhasil merangkai kata sedemikian rupa, sehingga terbaca indah. Bisa dengan menghidupkan benda mati seolah hidup, menyertakan peribahasa, menyisipkan kalimat bijak, dan lainnya.
...Rembulan terang di atas kampung. Rembulan yang purnama. Malam yang sungguh-sungguh indah. Bahkan bunga Wijaya Kusuma itu mekar dengan begitu cepat, seperti ikut merayakannya. Angin dari arah pantai berembus perlahan, tapi lebih dari cukup untuk membuat daun-daun dari setiap pohon di halaman itu saling bersentuhan, berkerosak saling berbisik, mendesis seolah memberi pertanda...
Kalimat Om Seno itu bagi saya indah sekali. Om Seno memang mahir menggunakan majas personifikasi.
Keseruan dialog dan adegan
Sebagai bagian cerpen, dialog dan adegan perilaku lakon juga menarik disimak. Dalam dialog, bisa ada unsur saling mengejek atau bercanda. Sementara perilaku berbicara tentang apa yang lakon kerjakan atau peristiwa fisik yang dialaminya.
...Di dalam rumah, terdengar sesosok tubuh terperosok di balik pintu. "Sssstt... jangan bikin suara!" Terdengar napas terengah-engah, dalam kegelapan itu, hanya terlihat cahaya sepasang mata yang ketakutan...