Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerpen adalah Bukti Saya Mencintai Bahasa Indonesia

9 April 2021   07:59 Diperbarui: 9 April 2021   09:23 647
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: renungankristiani.com

Selamat pagi, diari. Bagaimana kabarmu hari ini? Saya berharap baik dan sehat selalu. Izinkan saya berbagi kisah untukmu. Namun, kali ini bukan seputar tip menulis cerpen, tetapi kehadiran cerpen dalam hidup saya.

Pada suatu percakapan di grup penulis di Whatsapp--bersama Guru Bahasa Indonesia yang saya kagumi, Pak Khrisna Pabichara, entah mengapa saya bisa begitu emosional menulis beberapa larik kalimat, seperti ini:

"Saya senang membaca cara bertutur Guru. Indah sekali. Benar-benar, Bahasa Indonesia mendapat tempatnya untuk dihormati."

"Saya benci mengakuinya. Tetapi, ketika menulis itu, mataku sedikit basah. Entah, mungkin saya sudah terlalu jengkel dengan anak muda yang suka mencampuradukkan bahasa."

"Saya menghargai para pencipta dan penyusun kata dalam kamus Bahasa Indonesia. Saya pun selalu teringat, butir ketiga Sumpah Pemuda. Ah, mungkin saya terlalu berlebihan. Apakah ini pertanda saya memang jatuh cinta dengan keindahan Bahasa Indonesia?"

Diari, mata saya sedikit basah ketika menulis kalimat pertama itu. Saya begitu kagum dengan Guru, Pak Khrisna Pabichara. Kendati teman-teman memanggil beliau Daeng, saya tetap memanggilnya Guru. 

Saya besarkan lagi huruf g-nya. Bukan apa-apa, dari beliau saya mendapat wawasan besar seputar Bahasa Indonesia. Jadi, sudah selayaknya saya besarkan namanya.

Mengapa basah? Karena saya terpukau, Guru membiasakan berbahasa Indonesia yang baik dan benar pada setiap saat. Tidak sekadar ketika menulis artikel. Waktu bercakap, sebisa mungkin beliau juga sama.

Ini yang saya tidak temukan pada anak-anak kekinian di negara Indonesia. Ada yang sering mencampuradukkan bahasa, asing Indonesia, Indonesia asing. Saya tidak mengerti apa alasannya. Apakah bagi mereka itu keren? Dibilang anak gaul? Atau, meniru seseorang?

Yang pasti, saya kesal. Mereka tidak bangga menggunakan Bahasa Indonesia secara baik dan benar. Padahal, Indonesia adalah salah satu negara yang memiliki bahasa sendiri, bukan bahasa dari negara yang pernah mendiami, seperti Inggris, Belanda, dan seterusnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun