Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Si Penjual Waktu

7 April 2021   02:28 Diperbarui: 8 April 2021   22:09 849
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apakah ia seorang dukun? Mungkinkah ia adalah cenayang? Atau tukang tenung?

Pertanyaan-pertanyaan itu berkelebat dalam otak, ketika saya melewati persimpangan jalan di pasar di kota itu dan melihat kerumunan orang yang saling berdesakan, riuh rendah sepanjang hari, menunggu seseorang datang, berdiri di dekat tiang listrik, dan menjual sesuatu yang bagi saya terasa omong kosong.

Saya pecinta logika. Benar-benar percaya segala sesuatu terjadi karena alasan yang masuk akal. Pertama kali saya datang ke kota ini, pindah karena urusan pekerjaan, sungguh membuat saya heran. Salah satu penjual di pasar itu, yang begitu dekat dengan rumah kontrakan baru saya, selalu laris dagangannya, tanpa perlu ia pergi ke sana sini menawarkannya.

Dia seorang lelaki, sekitar empat puluh tahun umurnya. Badannya sedikit bungkuk. Ia berjalan menggunakan tongkat. Pipinya tirus, cekung ke dalam. Matanya sayu. Rambut dan jenggotnya gondrong, hitam memanjang. Tangan kanannya memegang seutas tali yang terikat pada dua sisi sebuah jam beker bulat seukuran genggaman tangan berwarna cokelat. Sesekali ia menggantungkan jam itu di lehernya.

Ia akan mulai berjualan tepat di sebelah tiang listrik di persimpangan itu, ketika tengah hari, di dekat kumpulan para penjual daging dan sayuran yang sudah lebih dulu sedari pagi memenuhi kios demi kios pasar itu, lalu berteriak susah payah agar pembeli datang. Sementara ia, para pembeli sudah berjubel sekadar menunggu kedatangannya.

Tahukah kamu apa yang dia jual? Waktu. Iya, waktu. Apa maksudnya dia menjual waktu? Saya juga tidak habis pikir, bagaimana caranya menjual waktu?

"Bu, kalau ada perlu, datang saja ke dia," kata tetangga saya. Ia baru saja membeli waktu dari penjual itu.

"Ibu beli apa darinya?"

"Waktu, Bu. Waktu."

"Apa sih, Bu. Yang jelas ngomongnya? Maksudnya apa ibu beli waktu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun