"Saya juga tahu, kamu mengajak teman-temanmu datang menjadi supporter saya saat lomba. Saya tahu, kamu repot-repot pergi ke pasar, membeli busana dan pernak-pernik perhiasannya, hanya demi mendukung saya. Apalagi, kamu membayari ongkos transportasi mereka."
Bagaimana bisa dia tahu semua perbuatan saya? Apakah ada yang membocorkan? Apakah Ibu Sin, guru pendampingnya itu yang bercerita? Atau memang dia asal kira? Ah, tidak mungkin manusia bisa menebak seakurat itu.
"Saya juga lihat kamu melipat tangan di kursi penonton. Lalu, kamu memejamkan mata, berbicara entah apa, tetapi tanpa saya dengar jelas, itu terasa begitu menguatkan mental saya."
Dia memegang pundak saya. Saya terkejut. Matanya menatap lekat mata saya, seperti akan ada hal penting yang ingin dia ucapkan.
"Ternyata... kamu cantik juga ya, Lin," dia berkata pelan.
Cantik? Apa dia tidak salah? Muka saya begitu standar di antara para siswi. Jerawat pun banyak di pipi. Rambut sering lupa saya sisir. Bagaimana bisa dia bilang saya cantik?
"Matamu cantik," katanya lagi.
Senja perlahan datang. Guratan garis merah kekuning-kuningan yang begitu indah menghiasi langit yang sudah teduh sedari siang. Angin terus berembus, semakin sejuk dan menenangkan. Mengapa hati saya malah bertambah gelisah? Dada berdegup kian kencang. Saya tidak mampu berbicara apa-apa. Di depan orang terganteng ini. Sesekolah, antarsekolah, antarkota.
Betapa beruntung saya, bisa berasa di dekatnya. Ujung sepatu kami saling bersentuhan. Saya tersenyum. Dia pun tersenyum.
"Terima kasih ya Lin. Kamu sudah setia mendukung saya. Kamu terus berdoa bagi saya. Kamu betul-betul cantik, Lin. Tidak ada lagi gadis di dunia ini yang lebih cantik dari dirimu." Â
Dia mengecup pipi saya. Saya tersipu malu.
...
Jakarta
6 April 2021
Sang Babu Rakyat