Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Pelajaran Malam Pertama

31 Maret 2021   23:50 Diperbarui: 1 April 2021   00:41 610
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Apa saya tidak bisa memilih, Bu, Pak?"

Seorang pemuda berumur dua puluh tahun berlutut di dekat kaki seorang wanita tua. Kepalanya menunduk. Matanya menatap lantai. Pundaknya membungkuk, begitu rendah seperti tertimpa masalah berat.

Seorang lelaki paruh baya duduk. Tangannya merapikan sarung hitamnya yang kedodoran. Ia mengelus-elus jenggot putihnya, memilin-milinnya, sampai jenggot itu terpelintir agak kusut membentuk sebuah simpul. Setelah itu, ia mengambil sesuatu dari atas meja.

"Uhuk-uhuk"

Terdengar suara batuk. Lelaki paruh baya itu mengembuskan asap dari cerutu yang baru dinyalakannya. Ia beranjak dari kursi goyang.

"Tidak bisa!" katanya tegas dan keras, seperti tidak ingin dibantah.

"Iya Nak, kamu harus sama dia. Tidak ada jalan lain lagi," kata wanita tua itu sambil tangannya menyentuh pundak pemuda itu, memberi isyarat supaya dia berdiri, dan duduk di sampingnya. Matanya sedikit berair. Pikirannya penuh kebimbangan.

Betapa tidak? Di satu sisi, sebagai seorang ibu, dia ingin anaknya hidup bahagia dengan memilih wanita yang disukainya. Di sisi lain, dia tidak ingin keluarganya hancur. Barang-barangnya terus disita. Rumahnya mungkin dijual. Menjadi gelandangan pun bisa jadi.

Pemuda itu tidak bicara apa-apa. Ini sudah seratus kali dia memohon. Seperti sia-sia baginya bila meminta lebih lanjut. Sebagai anak pertama dari keempat bersaudara, pemuda itu punya banyak tanggungan. Adik pertamanya masih SMP. Yang kedua SD. Paling kecil baru lahir.

Belum lagi biaya perawatan penyembuhan ibunya. Bapaknya tidak bisa apa-apa, karena telah terlalu tua untuk bekerja. Mereka sekeluarga terpaksa berutang pada seorang rentenir di kota itu yang terkenal begitu galak dan begitu kejam saat membungakan pinjaman. 

Utang itu ia gunakan untuk membayar operasi kanker ibunya, membiayai sekolah adik-adiknya, melunasi sewa kontrakan rumahnya, bahkan sesekali terpaksa untuk sekadar membeli makanan bagi keluarganya, bila ia tidak membawa apa-apa sepulang dari pasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun