Saya sudah tahu awalnya, pertengahannya, akhir ceritanya, bahkan bila saya boleh buat plot twist, saya pasti karang, agar cerita itu tidak membosankan. Tetapi, namanya sejarah, mana ada yang bisa dimanipulasi?
Bila ibu mulai bercerita, saya akan duduk tenang di sampingnya, sesekali mengangguk-anggukan kepala, berkata "wow" dan "oh", lalu memasang wajah antusias agar ibu merasa dihargai. Bukankah orang suka bila didengar, meskipun ceritanya membosankan?
Mana pula saya berani bilang "saya sudah tahu Bu ceritanya, ganti dong!", lalu ibu saya tinggalkan begitu saja. Mungkin saya bisa dikutuk jadi batu. Parah-parahnya, saya tidak beroleh restu untuk pernikahan saya yang akan digelar seminggu lagi.
Apa pun keadaannya, walaupun ibu sudah menua dan berjalan pun tertatih-tatih pakai tongkat, atas ceritanya yang lebih sering membosankan dan terus diulangi setiap malam sebelum kami tidur, saya tetap belajar menghormati dengan terus berpura-pura asyik mendengarnya. Bukankah saya juga nanti akan tua seperti ibu dan saya pun berharap anak saya menghormati saya kelak?
Dari sekian banyak foto yang tergantung di rumah kami, ada satu foto berukuran kira-kira 7R yang entah kenapa ibu tidak mau menampakkannya kepada saya. Sejak saya lahir.Â
Foto itu terpajang di dinding kamar Bapak--yang sekarang hanya ditiduri ibu sendiri, dalam bingkai keperakan terbungkus kotak kayu berwarna cokelat, dengan kaca di bagian depannya dan terkunci rapat melalui gembok kecil pada sisi tengah, yang saya tidak pernah tahu di mana letak kuncinya.
Meskipun kaca itu begitu bening dan transparan, apa yang ada di foto itu tidak bisa tampak, karena tertutup sehelai kain hitam yang ibu pernah sekali membukanya di hadapan kakak saya. Waktu itu sehari setelah kakak menikah.
Saya kerap merengek-rengek di depan ibu. Bahkan, pernah beberapa hari saya terjaga dari tidur sepanjang malam, karena rasa penasaran yang terus memuncak sejak saya kecil. Saya sakit pun, ibu tetap bergeming.
"Kamu harus menikah dulu, baru boleh lihat foto itu," kata ibu pada saya, pada suatu malam ketika makan bersama dengan kakak yang datang sendirian dari rumah mertuanya. Ia sengaja membesuk ibu dan membelikan beberapa butir obat untuk sakit tua ibu.
"Memang kenapa sih, Bu. Kan seminggu lagi saya menikah. Apa salahnya kalau foto itu dibuka sekarang saja," pinta saya.
Kakak tiba-tiba meringis. Ada embusan napas yang terdengar seperti meledek.