Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Sebuah Foto di Dinding Kamar Bapak

28 Maret 2021   20:41 Diperbarui: 28 Maret 2021   21:48 924
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya sudah tahu awalnya, pertengahannya, akhir ceritanya, bahkan bila saya boleh buat plot twist, saya pasti karang, agar cerita itu tidak membosankan. Tetapi, namanya sejarah, mana ada yang bisa dimanipulasi?

Bila ibu mulai bercerita, saya akan duduk tenang di sampingnya, sesekali mengangguk-anggukan kepala, berkata "wow" dan "oh", lalu memasang wajah antusias agar ibu merasa dihargai. Bukankah orang suka bila didengar, meskipun ceritanya membosankan?

Mana pula saya berani bilang "saya sudah tahu Bu ceritanya, ganti dong!", lalu ibu saya tinggalkan begitu saja. Mungkin saya bisa dikutuk jadi batu. Parah-parahnya, saya tidak beroleh restu untuk pernikahan saya yang akan digelar seminggu lagi.

Apa pun keadaannya, walaupun ibu sudah menua dan berjalan pun tertatih-tatih pakai tongkat, atas ceritanya yang lebih sering membosankan dan terus diulangi setiap malam sebelum kami tidur, saya tetap belajar menghormati dengan terus berpura-pura asyik mendengarnya. Bukankah saya juga nanti akan tua seperti ibu dan saya pun berharap anak saya menghormati saya kelak?

Dari sekian banyak foto yang tergantung di rumah kami, ada satu foto berukuran kira-kira 7R yang entah kenapa ibu tidak mau menampakkannya kepada saya. Sejak saya lahir. 

Foto itu terpajang di dinding kamar Bapak--yang sekarang hanya ditiduri ibu sendiri, dalam bingkai keperakan terbungkus kotak kayu berwarna cokelat, dengan kaca di bagian depannya dan terkunci rapat melalui gembok kecil pada sisi tengah, yang saya tidak pernah tahu di mana letak kuncinya.

Meskipun kaca itu begitu bening dan transparan, apa yang ada di foto itu tidak bisa tampak, karena tertutup sehelai kain hitam yang ibu pernah sekali membukanya di hadapan kakak saya. Waktu itu sehari setelah kakak menikah.

Saya kerap merengek-rengek di depan ibu. Bahkan, pernah beberapa hari saya terjaga dari tidur sepanjang malam, karena rasa penasaran yang terus memuncak sejak saya kecil. Saya sakit pun, ibu tetap bergeming.

"Kamu harus menikah dulu, baru boleh lihat foto itu," kata ibu pada saya, pada suatu malam ketika makan bersama dengan kakak yang datang sendirian dari rumah mertuanya. Ia sengaja membesuk ibu dan membelikan beberapa butir obat untuk sakit tua ibu.

"Memang kenapa sih, Bu. Kan seminggu lagi saya menikah. Apa salahnya kalau foto itu dibuka sekarang saja," pinta saya.

Kakak tiba-tiba meringis. Ada embusan napas yang terdengar seperti meledek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun