Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kelakuan Aneh Ibu

25 Maret 2021   18:45 Diperbarui: 25 Maret 2021   19:42 531
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya tidak tahu sejak kapan Ibu melakukan perbuatan aneh itu. Saya hanya tahu sejak saya sadar orang di depan saya akhir-akhir ini adalah Ibu, wanita yang bersusah payah melahirkan saya, berteriak begitu kencang sampai-sampai kaca jendela ruangan operasi bergetar dan beberapa wanita berpakaian biru dan bersarung tangan putih begitu lelah menenangkannya.

Jujur, saya begitu tidak suka dengan kelakuan aneh Ibu. Entah, siapa yang mengajarinya? Untuk apa dia melakukannya? Apa yang ada di pikirannya, sehingga bisa-bisanya dia bilang ketek saya baunya enak, lalu dia menciuminya berulang-ulang, hingga terkadang hidungnya dia jejalkan terus-menerus, dan saya pun mau tidak mau tersenyum dan berakhir tertawa karena begitu geli merasakan beberapa bulu hidungnya yang keriting itu menyentuh permukaan kulit ketek saya.

Kebiasaan itu pertama kali Ibu lakukan setiap malam, menjelang pergantian hari, pada saat saya kerap terbangun dan menangis. Namun, sekarang mengapa begitu sering dia lakukan? Mau pagi, siang, malam, mau saya melihat tv atau tertidur, selalu saja Ibu menempelkan hidungnya dan terus membaui ketek saya, baik kiri maupun kanan.

Apakah ketek saya mengandung sesuatu yang memabukkan, sehingga Ibu kerap ketagihan? Apakah ketek saya baunya begitu memikat? Apakah ketek saya seperti bau cokelat, layaknya parfum yang selalu Ibu semprotkan di kamar saya--saya jamin pasti Ibu suka cokelat, karena saya lihat parfum berwangi cokelat itu tidak pernah sekalipun digantinya.

"Ketek siapa sih nih? Ketek siapa sih nih? Harum banget baunya," kata Ibu yang jelas terdengar di telinga saya, ketika hidungnya tidak berhenti terus mendesak-desak kedua ketek saya.

Jujur, atas perbuatan itu, saya tertawa bukan karena suka. Ibu malah tertawa melihat saya tertawa. Apakah dia mengira saya suka diperlakukan seperti itu? Apabila saya tidak terkencing-kencing, pasti Ibu tidak berhenti melakukannya dan mungkin saya akan mati karena tertawa.

Mana ada ketek berbau harum? Saya berani jamin tidak pernah ada. Pernah suatu ketika saya mencium ketek Ibu, ketika Ibu sedang berbincang dengan tetangganya dan dia mendekap saya dengan selendang cokelat yang diikat pada pundaknya, begitu kencang sehingga saya tidak bisa bergerak, badan saya bersentuhan lekat dengan dadanya, dan kepala saya tepat berada di depan keteknya.

Tidak berapa lama, dalam ayunan badannya ke kanan ke kiri, saya langsung tertidur. Bagaimana tidak? Itu begitu memabukkan, membuat kepala saya pusing. Ketek ibu bau apek. 

Ditambah lagi goyangannya yang semakin kencang, membuat saya jatuh pingsan. Setengah sadar malah saya dengar Ibu berbicara sesuatu yang sulit saya percayai: "Anak pintar..anak pintar...tidurlah anak pintar...mimpi indah ya Nak." Ibu mengira saya tertidur, padahal saya pingsan. Apa Ibu tidak sadar keteknya bau apek?

Selain ketek, telapak kaki saya pun suka sekali Ibu ciumi. Entah, aroma apa yang tercium dari kaki saya, sehingga hidung Ibu begitu betah berada di ujung jempol kaki saya, dia sentuh-sentuhkan, dan terjadi lagi bulu hidungnya keluar membuat saya tertawa kegelian. Apakah kaki saya juga begitu memikat seperti ketek saya?

Belum lagi kelakuan Ibu yang satu ini. Ketika dia mengajak saya bermain keluar rumah, bertemu dengan tetangga sebelah, yang juga menggendong anak kecil seumuran saya--tepatnya satu tahun, Ibu akan selalu mencubit pipi saya yang gemuk itu dan berkata sesuatu yang sampai sekarang saya heran, bisa-bisanya terjadi pada umurnya yang masih muda itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun