"2,5 M," bos Sulepret menyahut.
Pengusaha yang lain itu hanya tersenyum. "Saya dari awal 3 M," katanya.
Kedua bos kami gelisah. Masing-masing mendekati sekretarisnya, meminta perhitungan untung rugi membeli rumah diperbaharui.Â
"3,5 M," bos saya menaikkan harga.
"Saya 4 M," bos Sulepret juga menaikkan tawaran.
"Kalau begitu, saya 5 M," kata pengusaha lain itu sambil tetap tersenyum. Kami begitu heran, uang-uang di mata mereka seperti kerupuk. Tidak ada harganya. Begitu mudah diucapkan, seperti begitu mudah pula dikumpulkan.
Lelaki itu tetap saja melakukan kebiasaannya. Mengambil kacang dalam kantung plastik, mengupasnya, lalu melemparkan sampahnya ke sembarang tempat.
"Tawaran terakhir. Saya 7 M," kata bos saya.
Karena tidak mau kalah dan tidak ingin dipermalukan oleh pengusaha lain itu, bos Sulepret dengan begitu sombong memberi harga. "Saya 10 M." Pengusaha lain itu tidak berkata apa-apa. Lelaki itu memutuskan dan menyepakati, rumahnya dijual seharga 10 M. Padahal, harga seharusnya hanya 1 M.
Sepulang dari lelang, kami sengaja bermain ke rumahnya. Kami penasaran, siapa pengusaha lain itu.
"Pak Muamin, sebetulnya siapa dia?" kata saya di ruang tamunya. Sambil mulai merapikan barang-barang, dia berkata: "Ooo... maksud kamu, yang hadir selain bos kalian?"