"Bapak mau berapa sih sebetulnya? Bilang saja Pak!"
"Atau Bapak mau jalan-jalan ke Raja Ampat begitu? Ke Labuan Bajo? Danau Toba? Atau keluar negeri? Saya tanggung semuanya. Penginapan, transportasi, akomodasi, bahkan pemandu wisatanya saya kasih gratis. Yang cantik pula."
"Ayo Pak, masak Bapak tidak tertarik?"
"Yang kemarin itu kemurahan. Bapak menghina saya?" kata lelaki itu di depan bos teman saya. Teman saya secara tidak sengaja menguping dari luar pintu ruang kerjanya.
Sama seperti di ruangan bos saya, lelaki itu seenak udelnya membuang sampah kulit kacang ke lantai yang penuh bulu itu. Serasa tidak berdosa, ia masuk begitu saja ke dalam ruangan dengan sandal yang masih basah karena hujan di luar. Bulu-bulu karpet menjadi apek. Ada jejak sandal berserak mengotori ruangan.
"Kalau 1,5 M, bagaimana?" tawar bos teman saya itu.
Lelaki itu menggeleng-gelengkan kepala.
"Wah, kalau segitu, sudah ada orang menawar lebih tinggi. Bapak serius tidak? Kalau tidak, sebaiknya saya kasih saja ke orang itu." Tidak berapa lama, lelaki itu pergi begitu saja. Bos teman saya tertunduk.
Rasa keingintahuan kami berdua semakin memuncak. Siapa sebetulnya lelaki itu, sehingga begitu dihormati kedua bos kami? Sepertinya dia memiliki nilai jual yang tinggi. Sepertinya, bos-bos kami begitu menaruh harap padanya. Ketika lelaki itu keluar dari perusahaan teman saya dan kebetulan jam kerja usai, kami membuntutinya.
Betapa kami takjub, ternyata dia tinggal di sebelah perusahaan tempat kami bekerja. Sepetak rumahnya yang tidak begitu luas itu diapit perusahaan kami. Bila dilihat dari seberang jalan, paling kiri perusahaan jasa perjalanan tempat Sulepret bekerja, lalu rumahnya, baru hotel tempat saya bekerja.Â
Rumahnya begitu kecil dan pendek, begitu pendek bila dibanding dengan hotel dan perusahaan perjalanan yang begitu menjulang, masing-masing sampai empat puluh lantai itu.