Istri saya menganggukkan kepala. Saya menarik napas dalam-dalam. Ternyata ia sependapat dengan saya. Kedua anak kami datang begitu saja menghampiri.
Apa yang saya takutkan tiba-tiba terjadi. Terkadang memang, ketakutan di pikiran bisa muncul menjadi kenyataan. Keesokan hari, makam ayah terbongkar. Tanah berserakan di mana-mana. Batu nisan ayah tercerabut dan tergeletak di atas kuburan orang. Bunga-bunga melati yang tertabur berhamburan, hancur begitu saja, seperti terinjak seseorang.
"Siapa ini pencurinya? Kurang ajar!" kata seorang saudara. Kami sekeluarga lekas berkumpul di sekitar makam.
Dalam peti kayu yang tutupnya koyak seperti dihancurkan benda tajam, terlihat tubuh ayah yang begitu menyedihkan. Jari-jarinya terpotong. Cincin-cincin emasnya hilang. Tumpukan kalung di lehernya lenyap. Tongkat emasnya raib.
"Saya dari awal sudah bilang, buat apa perhiasan itu dikubur. Kalian tidak percaya kan? Ini jadinya, pencuri datang dan mengambilnya," kata saya pelan. Saya membusungkan dada. Saya senang perkataan saya terbukti.
Selepas melaporkan kejadian itu ke petugas keamanan, kami akhirnya pulang. Di rumah, saya melihat istri saya menangis menjadi-jadi. Sudah dia kehilangan ayah, perhiasan ayah juga hilang. Hanya pengalaman pelit ayah yang masih tersisa di pikirannya dan itu pun menyedihkannya.
Keesokan hari, saya mengajaknya ke toko emas. Untuk menghibur hatinya, saya membelikan dia kalung emas. Anak-anak juga saya belikan sepatu dan tas baru untuk persiapan masuk sekolah mereka. Rumah kami yang bocor ketika hujan lekas saya renovasi. Cukup sudah, kesedihan-kesedihan di keluarga kami.
Saya rela, bila ayah tiba-tiba mendatangi tidur saya. Saya akan ajak dia diskusi dan saya akan perlihatkan wajah anak dan cucu-cucunya yang begitu bahagia, karena perhiasan peninggalannya.
...
Jakarta
18 Maret 2021
Sang Babu RakyatÂ