Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Emas-emas Alam Tanah

18 Maret 2021   21:25 Diperbarui: 19 Maret 2021   01:00 557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Betapa bahaya pula bila ada orang tidak dikenal tahu dan tiba-tiba saja membongkar makam itu dan mengambilnya. Istri saya masih melanjutkan pidato. Kisah-kisah kebaikan mendiang diterangkannya satu demi satu. 

Beberapa kisah berbau penipuan dan saya tersenyum getir mendengar betapa apik istri saya merangkai kata-kata. Saya tahu betul, ayah itu begitu pelit dan sulit berbagi harta pada anak-anaknya. Tetapi, bukankah memang harus kebaikan saja yang dikenang dari setiap orang yang meninggal?

Ia pun mewakili keluarga meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang selama hidup diperbuat mendiang. Di depan mik, suaranya yang tertahan dengan isaknya, terdengar menyedihkan dan suasana itu menyalur begitu saja, membuat beberapa pelayat terlihat menyeka air matanya. 

Sore itu tiba-tiba hujan. Awan hitam berkumpul di atas kuburan. Terdengar suara air berjatuhan di atas tenda. Tisu-tisu berserakan di atas tanah. Peti mati ayah bersama perhiasan-perhiasannya akhirnya dikuburkan.

"Kamu belum rela kehilangan ayah?" tanya saya pada istri sewaktu pulang dari kuburan. Kami terpaksa berhujan-hujan ria di atas motor butut, satu-satunya kendaraan yang kami punya.

Istri saya tidak menjawab. Saya melihat dari spion, ia menyentuh matanya yang sembab itu. Air matanya masih menetes, tertutup air hujan yang membasahi kaca helmnya.

"Saya sudah rela, Mas," katanya sesampai di rumah.

"Lantas, mengapa kamu masih menangis?"

"Saya tidak rela, Mas. Saya sungguh tidak rela. Mengapa perhiasan itu dikubur juga? Sayang sekali."

Saya terkesiap.

"Jadi, selama pemakaman, kamu menangis, bukan karena ayah meninggal, tetapi karena perhiasan itu?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun