Betapa bahaya pula bila ada orang tidak dikenal tahu dan tiba-tiba saja membongkar makam itu dan mengambilnya. Istri saya masih melanjutkan pidato. Kisah-kisah kebaikan mendiang diterangkannya satu demi satu.Â
Beberapa kisah berbau penipuan dan saya tersenyum getir mendengar betapa apik istri saya merangkai kata-kata. Saya tahu betul, ayah itu begitu pelit dan sulit berbagi harta pada anak-anaknya. Tetapi, bukankah memang harus kebaikan saja yang dikenang dari setiap orang yang meninggal?
Ia pun mewakili keluarga meminta maaf atas kesalahan-kesalahan yang selama hidup diperbuat mendiang. Di depan mik, suaranya yang tertahan dengan isaknya, terdengar menyedihkan dan suasana itu menyalur begitu saja, membuat beberapa pelayat terlihat menyeka air matanya.Â
Sore itu tiba-tiba hujan. Awan hitam berkumpul di atas kuburan. Terdengar suara air berjatuhan di atas tenda. Tisu-tisu berserakan di atas tanah. Peti mati ayah bersama perhiasan-perhiasannya akhirnya dikuburkan.
"Kamu belum rela kehilangan ayah?" tanya saya pada istri sewaktu pulang dari kuburan. Kami terpaksa berhujan-hujan ria di atas motor butut, satu-satunya kendaraan yang kami punya.
Istri saya tidak menjawab. Saya melihat dari spion, ia menyentuh matanya yang sembab itu. Air matanya masih menetes, tertutup air hujan yang membasahi kaca helmnya.
"Saya sudah rela, Mas," katanya sesampai di rumah.
"Lantas, mengapa kamu masih menangis?"
"Saya tidak rela, Mas. Saya sungguh tidak rela. Mengapa perhiasan itu dikubur juga? Sayang sekali."
Saya terkesiap.
"Jadi, selama pemakaman, kamu menangis, bukan karena ayah meninggal, tetapi karena perhiasan itu?"