"Bagaimana, semua sudah siap?"
"Beres."
"Roti, balon, ruangan, aman?"
"Takperlu kau pikirkan."
Terdengar bisik-bisik dalam pantri yang begitu sempit itu. Ada tiga orang menghabiskan istirahat siang di sana. Seseorang makan nasi ayam. Yang lain mengaduk kopi. Lainnya lagi mendidihkan air.
"Tapi kau yakin, dia mau terima?" tanya saya sambil menghirup aroma kopi. Aroma itu membuat pikiran saya begitu tenang pada siang yang begitu penat penuh pekerjaan itu. Seseorang menuang air panas ke dalam ceret. Ada suara piring kotor tertumpuk di bawah keran.
"Pasti. Dia lagi putus cinta. Saatnya kau masuk."
"Benar itu. Biasanya perempuan kalau patah hati butuh perhatian. Lagi pula, saya lihat, dia mulai nyaman denganmu. Kapan lagi?"
Saya mengangguk kecil. Pendapat mereka seperti masuk akal, meskipun sebagian masuk angin. Siapa bisa menebak hati perempuan? Mungkin benar, waktu sedih ditinggal pacar, perempuan perlu perhatian. Bisa jadi pula, perempuan butuh sendiri untuk menenangkan hati.
Saya mengenalnya dari salah seorang mereka. Dia bekerja di perusahaan periklanan, tepat di sebelah kantor kami. Badannya tinggi semampai. Rambutnya hitam lurus panjang terurai. Kulitnya putih bersih.
Setiap berjalan, dia selalu memakai sepatu ungu muda berujung terbuka, sehingga kuku kakinya yang cantik dan terawat rapi berkuteks ungu muda dengan ujung melingkar putih mengilat bak susu, terlihat begitu indah.Â