Kepala-kepala itu menggelinding di sepetak jalan bergeronjal yang menurun tepat di perbatasan kampung yang memisahkan dua suku di tepi pedalaman hutan itu. Satu dua kepala terlihat pipih, seperti dilindas benda keras barangkali sebuah batu besar.
Darah menetes sepanjang jalan. Urat-urat yang keluar dari leher yang terpotong itu, berhamburan begitu saja dan sedikit bergerak-gerak, seperti cacing-cacing menggeliat di atas tanah.Â
Rambut-rambut keriting dan panjang pada setiap kepala itu tercerabut satu demi satu dan berserakan. Hujan yang turun dengan derasnya, membuat darah-darah yang kental itu mencair, menyebar merata, mengubah jalanan cokelat menjadi merah menyala.
Beberapa orang berpakaian daun rumbia terkekeh-kekeh sambil berjalan dengan bangganya. Kaki-kaki sebagian orang dari suku seberang itu terus-terusan menendang kepala itu begitu saja, terguling-guling pada malam yang kian mengerikan, seperti manusia tidak ada harganya.
Satu di antara mereka berdiri. Tangan kanannya mengambil sebuah kepala dengan memegang rambutnya, seperti menjambak. Tangan kirinya memegang sebuah tombak dengan mata tombak yang begitu runcing, berwarna merah berbau amis darah. Mata itu begitu tajam, hingga barangkali batang pohon yang begitu keras dan tua sekali pun, dapat terpotong dalam satu tebasan.Â
"Rasakan kalian!!" orang itu berteriak.
"Inilah akibatnya kalian tidak menghargai kami."
Perang antarsuku itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Kedua suku itu tinggal di sebuah hutan, terpisahkan sepetak jalan memanjang penuh batu kerikil, yang memang sengaja mereka buat sebagai batas kehormatan wilayah masing-masing.
Setiap orang dari tiap-tiap suku yang ingin berkunjung ke suku seberang, wajib membawa kepala babi yang sudah direbus dengan rempah-rempah asli hutan itu. Tradisi itu sudah berlangsung dan tetap bertahan, hingga suatu tengah malam salah seorang Aba dari salah satu suku membuat keonaran.
"Sepertinya sudah tidak ada orang," kata Aba itu pada seorang pemuda yang mengikutinya dari belakang. Mereka berjalan mengendap-endap, melewati jalan itu, menuju ke sebuah rumah tepat di seberang jalan.
Pada satu jendela rumah beratap rumbia itu, terlihat bayangan seorang gadis sedang membuka baju di bawah sinar lampu petromaks. Buah dadanya begitu besar dan menggairahkan. Senyumnya manis semanis madu hutan. Langkahnya begitu anggun, membuat kedua orang itu ketika pertama kali melihatnya berjalan di tepi jalan, tidak kuasa menahan nafsu berahinya.