Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Anak Perempuan dalam Tangisan

7 Maret 2021   12:02 Diperbarui: 7 Maret 2021   21:53 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:pixabay.com/luisfrps

“Kenapa jadi dokter?”

“Ingin ngobatin ibu.”

Batuk Sulastri memang sangat misterius. Setelah diobati ke dokter dan orang pintar, batuk itu tetap muncul, tidak kunjung sembuh. Akhir-akhir ini sesekali bahkan darah yang keluar.

Sulastri terdiam. Meskipun begitu polos jawaban anaknya, itu sudah cukup menggoyahkan perasaannya, sehingga tanpa sadar ia meneteskan air mata. Direngkuhnya Aksila dalam pelukan. Ia menciumi kepala Aksila dengan begitu sayang.

“Ibu kenapa menangis?” tanya Aksila setelah merasa ada air membasahi kepalanya. Sebelum Aksila mendongak melihat wajah ibunya, Sulastri cepat-cepat menyeka air matanya.

“Tidak apa-apa, Nak.” Mata Sulastri masih berkaca-kaca.

Tanpa terasa, waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Alunan lagu keroncong “Gambang Semarang” sayup-sayup terdengar. Meskipun sudah tutup, deretan warung penjual lumpia yang disinari temaram lampu satu per satu terlihat. Penjaja bandeng presto juga tidak kalah ramai memenuhi pemandangan dari jendela. Aroma kota Semarang, kota kelahiran Sulastri perlahan terasa. Sulastri merapikan dua koper besarnya. Aksila mengencangkan sepatu sandalnya.

“Ayo Nak, turun.”

Karena malam sudah sangat larut, mereka memutuskan menginap di masjid sekitar. Keesokan hari, pukul lima, setelah salat subuh, dengan menaiki bus kota dari terminal Terboyo, mereka menuju rumah Rini yang ada di dataran atas Semarang. Ngaliyan.

 ***

Tok.tok..tok…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun