Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Anak Perempuan dalam Tangisan

7 Maret 2021   12:02 Diperbarui: 7 Maret 2021   21:53 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:pixabay.com/luisfrps

“Kamu tidak ragu kan?”

Sulastri tidak menjawab. Ia hanya mengangguk kecil.

***

Meskipun kakak beradik, Aksila dan Aliska bagai bumi dan langit. Aksila seorang perempuan yang pendiam. Rambutnya keriting panjang, berponi sedikit menutup dahinya. Kulitnya hitam manis. Hidungnya sedikit mancung, tidak seperti Aliska dan Sulastri yang begitu pesek.

Karena saking pendiam, ibu gurunya di sekolah bahkan kebingungan memberi nilai keaktifan di kelas. Untung, pikirannya yang terlalu encer saat menjawab soal ujian, masih mampu menolongnya mengangkat rendahnya nilai keaktifan.

Sementara Aliska, ia mampu berbicara sepanjang hari, memberikan pertanyaan-pertanyaan membabi buta, sampai-sampai Sulastri dan suaminya yang hanya lulusan SMP itu harus berpikir keras untuk menjawabnya.

“Bu, kok wajahku jelek ya?” tanya Aliska suatu sore setelah memandang dirinya di depan cermin. Ia memegang-megang hidungnya, seolah-olah membanding-bandingkan dengan kakaknya.

Sulastri selalu diam. Bagaimana caranya mengubah bentuk wajah bila sejak lahir sudah seperti itu? Setelah menutupi biaya sekolah anak dan membayar kontrakan, upah Sulastri dengan suaminya habis untuk biaya makan mereka. Tidak ada uang untuk mempercantik diri. Bisa beli bedak saja setiap bulan sudah syukur.

Ya, Sulastri bekerja sebagai pembantu harian beberapa rumah tangga di sekitar Kemayoran. Suaminya seorang tukang bajaj. Mereka tinggal di Tanah Tinggi, dalam kamar kontrakan yang begitu sempit untuk empat orang, berukuran tiga kali empat meter persegi, belum terhitung kamar mandi di dalamnya.

Namun, menurut orang di kampungnya, karena bekerja di ibu kota, Sulastri dipandang telah sukses. Apakah setiap orang yang menginjakkan kaki di ibu kota selalu berhasil?

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun