"Bapak harus jadi kepala kampung!" teriak salah seorang warga ketika mendatangi rumahnya.
"Sudah waktunya Bapak buka tabiat busuk Pak Wagiyo!" kata warga lain.
"Benar itu, Pak. Mengapa desa ini tidak bisa ada yang berdagang? Saya curiga Pak Wagiyo punya pesuruh, agar warungnya saja yang laku. Bapak harus usut tuntas semua itu!" tambah warga lain sambil mengepalkan tangan.
Mereka ikhlas menjadi pendukung bukan karena Surimin bayar. Tetapi, Surimin memang sosok yang baik sekali. Setiap ada kedukaan, Surimin orang paling pertama hadir memberi belasungkawa. Ketika ada warga terlilit utang, Surimin sukarela memberi pinjaman.Â
Tatkala ada warga sakit dan butuh berobat ke kota, Surimin akan cepat mengantar dengan mobilnya. Sebagian malah ada yang sudah menganggapnya sebagai kepala kampung. Para warga sampai bingung membalasnya, karena dia tidak mau menerima apa-apa.
Tetapi, desakan warga itu tidak bisa ditolaknya. Hari demi hari, setiap malam itu terus mengganggu pikirannya sesaat hendak tidur. Beberapa kali bahkan dia tidak tidur semalaman. Sesekali ada perasaan bersalah muncul di hatinya, kalau permintaan itu tidak dikabulkannya.Â
Satu demi satu warga terus berdatangan, menyampaikan dukungan dan mengelu-elukan namanya, sampai hatinya gundah dan akhirnya menerima tawaran mereka.
"Bapak berani lawan Sulepret?" tanya istri Surimin suatu malam.
"Saya sebetulnya malas jadi kepala kampung. Hanya, warga terus mendesak, jadi mau tidak mau saya maju. Terpilih ya syukur, tidak terpilih tidak apa-apa. Jabatan itu amanah. Saya hanya takut bila menjabat tetapi tidak mampu melakukan sebaik-baiknya."
Istri Surimin memandang suaminya itu. Ia sungguh kagum, betapa ikhlas suaminya dalam menjalani kehidupan. Sebuah kecupan hangat mendarat di pipi Surimin.
"Silakan, Bapak Ibu duduk yang tertib. Tunggu sebentar!" Seorang penghitung suara merapikan beberapa bilik suara. Di antaranya terhalangi seng, sehingga warga yang memilih tidak bisa saling lihat.