Di atas dipan, ibu terbatuk-batuk lagi. Napasnya tersengal-sengal. Tangannya semakin mengerut. Mukanya pucat pasi.
"Ibu, jangan mati!"
Mimi mengambil selimut tebal dan membentangkannya menutup badan ibu yang terus menggigil. Laksmi bersama suaminya belum sampai rumah. Umi duduk di sudut ruang tengah. Bibirnya terus merapalkan doa.
"Kau kan Umi yang memaksa ibu buat pesta besar-besaran? Jangan mentang-mentang kau anak kesayangan, lalu seenak jidatmu mengambil semua harta ibu!" Mimi tiba-tiba berdiri. Tangannya menunjuk-nunjuk wajah Umi.
Umi mengambil tisu dan menyeka air mata di pipinya. Selendang tipis yang tergerai di bahunya segera dia lilitkan membungkus kepalanya.
"Saya tidak pernah meminta ibu sampai berutang," Umi berkilah.
Tidak berapa lama, pintu diketuk. Laksmi dan suaminya tiba.
"Siapa yang mau menanggung utang ini? Kalian enak sudah bersuami, sudah punya rumah sendiri. Saya? Mau tinggal di mana saya? Rumah ini pun bentar lagi diambil tukang gadai. Kau harus tanggung jawab, Umi!"
"Saya tidak mau semua utang ibu jatuh menjadi tanggung jawab saya. Saya tidak mau!"
Di luar sudah gelap. Teras rumah juga gelap. Lampu tidak ada yang menyalakan. Tanpa ada yang tahu, badan ibu tiba-tiba kejang-kejang. Terdengar satu embusan napas panjang. Tangan ibu tergeletak terjatuh di samping dipan.
"Ibuuuuuuuuu!!!!" Umi mendekati ibu.Â