Karena tidak menemukan bukti, Sulepret dan kedua warga itu pergi dengan tangan kosong. Surimin menyeringai.
Penjahat oh penjahat. Mengapa engkau begitu bejat? Mengapa anak menjadi sasaran kekejaman? Apa salah insan kecil tak berdosa itu? Mereka masih punya masa depan yang begitu panjang, mengapa nyawanya harus melayang begitu cepat? Betapa biadabnya penjahat yang menyiksa anak. Betapa pecundangnya orang yang menculik makhluk tidak berdaya, yang tidak mampu melawan apa-apa.
"Pak, dia masuk kamar!" Adinda yang berusia lima tahun itu berteriak semakin kencang. Sulepret menoleh. Beberapa tetangga yang mendengar menggedor pintu.
"Pak, ada apa? Ada maling?"
"Sssst..."
"Jangan berisik. Penjahat itu di sini."
Dengan cepat para tetangga itu pulang ke rumah masing-masing. Tidak berapa lama, mereka datang kembali. Ada yang membawa linggis. Ada yang memegang parang. Ada pula yang menggenggam golok.
"Ayo Pak, kita bunuh. Jangan sampai lolos kali ini!" salah seorang dari mereka berbisik.
Sulepret menempelkan jari telunjuk ke bibir.
"Sssstt..! Jangan bersuara!"
Sulepret memberi isyarat penjahat itu bersembunyi di kamar pembantu, di bagian belakang rumah dekat toilet. Kebetulan, pembantu sedang tidak di rumah karena pulang kampung mengurus ibunya yang meninggal sakit jantung.Â