Tidak ditemukan sama sekali bukti mencurigakan, yang menunjukkan tanda-tanda seorang pembunuh atau penculik anak. Sampai sekarang, penjahat itu belum ditemukan. Sulepret hampir menyerah.
Karena peristiwa itu semakin mengerikan, kepala desa mengumpulkan seluruh warga beserta anak-anak mereka di balai desa. Suatu siang saat matahari mulai terik-teriknya, kepala desa mengumumkan peringatan.
Bila ada orang tidak dikenal, jangan mau diajak ke mana-mana. Kalau ada orang asing beri makanan, tolak mentah-mentah. Jangan pergi malam-malam. Bapak ibu harus jaga anaknya. Jangan biarkan main sendirian. Kalau perlu terus diawasi meskipun bersama teman. Begitu perintah kepala desa.
Sulepret sebetulnya menaruh curiga pada Surimin. Sulepret dengar, sebagai orang pintar di desa itu, Surimin menjalankan ilmu hitam dengan mencari tumbal agar ruh yang dia punya mau menjalankan perintahnya. Kedua warga penjaga juga berpendapat sama.
"Apa mungkin Surimin, Pak? Dia kan dukun. Pasti dia butuh tumbal."
"Saya curiganya juga begitu, Pak."
"Bapak ingat, tinggal rumah Surimin yang belum kita geledah. Ayo ke sana Pak."
Malam itu mereka bergegas menuju rumah Surimin. Surimin dikenal jarang keluar rumah. Rumahnya selalu gelap, meskipun malam. Bau kemenyan tercium mulai teras rumahnya. Beberapa tengkorak manusia terpajang di ruang tamunya.
"Surimin, keluar kau!"
Seorang lelaki berjanggut putih dengan badan sedikit bungkuk membuka pintu.Â
"Ada apa?"