"Tenang Pak. Pak Muamin ini sudah datang dari tadi. Bapak saja yang tidak lihat. Dia datang sebelum Bapak. Tetapi, karena ada keperluan, dia pulang dulu. Bapak tidak perlu marah."
"Pak Sulepret jangan begitu. Itu namanya tidak adil. Bapak itu harus antre lagi dari awal!"
Dua orang lelaki di dekatnya yang sudah paham benar peristiwa itu karena memang warga lama, mengelus-elus pundak bapak itu berkali-kali.Â
"Sudah Pak, sudah."
Hanya lima menit Pak Muamin duduk. Setelah mengisi daftar hadir dan tanpa ditanya apa-apa-Pak Muamin memberi kode seperti tahun lalu, Pak Muamin lekas menyalami Sulepret. Salam tempel. Sulepret tersenyum.
Setelah beberapa langkah Pak Muamin pergi, Sulepret menuju toilet. Entah, saya tidak tahu apa yang dilakukannya di sana. Yang saya tahu, beberapa warga mulai berbau badannya. Sebagian menutup hidung karena tidak kuat mencium bau keringat yang begitu menyengat. Meskipun sudah di bawah atap dan dalam embusan angin dari satu-satunya kipas angin di ruangan ini, udara yang semakin panas seperti membakar para warga.
Tidak berapa lama, Sulepret keluar.
"Tolong jaga sebentar meja itu. Saya mau menyusul Pak Muamin," katanya pada saya.
Saya melihat Sulepret berjalan cepat menghampiri Pak Muamin yang sudah duduk di atas motor. Tangan kanannya menggenggam sebuah amplop sedikit kumal, yang baru Pak Muamin berikan tadi.Â
Sepertinya sudah dia buka. Apa dia mau mengembalikan amplop itu? Apa dia mau bekerja dengan benar? Mana mungkin dia tidak suka uang? Apa ada orang yang tidak perlu uang? Ah, mengapa pula saya jadi berprasangka baik begini?
"Pak Muamin, jangan pulang dulu!" seru Sulepret.