Masih adakah kalian yang punya buku harian? Aku ragu ada. Sekarang, semua kisah kehidupan dibukukan jelas di media sosial. Kegiatan per detik, menit, jam, berlalu lalang diunggah. Selalu tersedia waktu memperlihatkan itu. Bahkan, mungkin bila ditelisik barang apa yang memiliki sidik jari terbanyak, aku yakin ponsel jawabannya.
Aku pernah berpikir, buat apa semua orang harus tahu semua unggahan itu. Mungkin, mereka butuh pengakuan. Atau, mengenalkan diri ke dunia luar. Atau, meminta dipuji atas kelakuan. Atau, sekadar mencari hiburan. Terlalu banyak pertanyaanku untuk setiap keanehan itu.
Aku sendiri taksuka dengan itu. Setiap keluh kesah takperlu banyak orang tahu. Orang-orang terdekatku saja tahu, itu lebih dari cukup bagiku. Harapanku.
Sayang, kenyataan berkata lain. Aku tak punya orang dekat. Bukan aku anti sosial, bukan tak ingin berteman, tapi keadaan membuat dan membentukku seperti itu. Aku tercipta sebagai orang yang takbisa apa-apa, ditengah apa-apa.
Hanya buku harian inilah yang setia menemani dan mendengarkan keseharianku. Lembar demi lembar tertulis penderitaanku. Tersamar bersama kebahagiaan semu.Â
Dunia ini sangat sepi. Dipenuhi benda mati. Mereka bermulut, tapi tak berkata. Mereka bertelinga, tapi tak mendengar. Indra mereka sudah mati rasa.
Lembar Pertama
Jujur, aku tidak bisa meminta lahir di mana dan sebagai apa. Ketika aku mulai mengetahui siapa diriku, anak siapa aku, ketika itu pula aku tidak menyesal dilahirkan di dunia.
Aku bangga sebagai anak kalian. Putri orang ternama, bahkan serasa nomor satu di kota ini. Tanpa bicara di media, perkataanku entah dari mana sudah muncul di layar kaca. Dinding seakan menjadi saksi, betapa terkenalnya diriku.
Aku juga senang melihat kalian mondar-mandir berbicara di televisi. Beberapa kali juga kubaca pernyataan kalian di surat kabar. Kota ini seperti mati bila tanpa kalian.