"Bud, ayah mana?" Teriak ibu keheranan, ayah takada di kamar. Biasanya, ayah masih mengorok di sampingnya hingga pukul delapan.
Aku mendadak terbangun. Teriak ibu membuyarkan mimpiku. Bergegas aku ke kamar ibu. Kemudian, kucari ayah di kamar belakang, dapur, halaman belakang, tak kutemukan. Seketika, perhatianku teringat pada burung kesayangan ayah, di teras rumah.
"Ini Bu, ayah di teras" Jawabku kepada ibu.Â
Tetapi, ada yang aneh dengan wajah ayah pagi itu. Di atas kursi goyang kesayangannya, dia terlihat pucat pasi. Kursinya pun tak bergoyang. Seperti tak diduduki.
"Yah, bangun!" Kugoyang badannya berkali-kali. Takada respon.
"Bu, bu buuu..., ayah gag bergerak" Aku berteriak memanggil ibu. Aku takut terjadi apa-apa dengan ayah.
Ibu berlari. Dicubitnya muka ayah, dipeluknya, dan diraba tangannya. Dingin sekali. Segeralah diambil telepon dan dihubungi dokter di sekitar kompleks rumah kami.
"Dok, cepat ke sini. Suami saya gag bergerak dok"
Tak berapa lama, Dokter Andi datang. Badan ayah sudah terbujur kaku. Diperiksanya denyut nadi dan denyut jantung. "Ibu, kita bawa ke rumah sakit aja ya" Dokter menjawab. Wajahnya sebetulnya ingin berucap, hanya kurang yakin.
Di rumah sakit, aku dan ibu menunggu di luar ruang ICU. Aku heran, pagi itu tumben burung kutilang ayah tidak berkicau. Biasanya, dia paling ramai membangunkan tidur kami.
"Bu, mohon maaf ya, Bapaknya sudah tidak tertolong" Ucapan seorang dokter yang baru keluar dari ICU. Terdengar lirih.