Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG (@cerpen_sastra), Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen di Kompasiana (@pulpenkompasiana), Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (@kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (@indosiana_), Pendiri Tip Menulis Cerpen (@tipmenuliscerpen), Pendiri Pemuja Kebijaksanaan (@petikanbijak), dan Pendiri Tempat Candaan Remeh-temeh (@kelakarbapak). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Kursi Goyang yang Tak Lagi Bergoyang

30 Oktober 2020   10:32 Diperbarui: 30 Oktober 2020   10:54 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Bud, ayah mana?" Teriak ibu keheranan, ayah takada di kamar. Biasanya, ayah masih mengorok di sampingnya hingga pukul delapan.

Aku mendadak terbangun. Teriak ibu membuyarkan mimpiku. Bergegas aku ke kamar ibu. Kemudian, kucari ayah di kamar belakang, dapur, halaman belakang, tak kutemukan. Seketika, perhatianku teringat pada burung kesayangan ayah, di teras rumah.

"Ini Bu, ayah di teras" Jawabku kepada ibu. 

Tetapi, ada yang aneh dengan wajah ayah pagi itu. Di atas kursi goyang kesayangannya, dia terlihat pucat pasi. Kursinya pun tak bergoyang. Seperti tak diduduki.

"Yah, bangun!" Kugoyang badannya berkali-kali. Takada respon.

"Bu, bu buuu..., ayah gag bergerak" Aku berteriak memanggil ibu. Aku takut terjadi apa-apa dengan ayah.

Ibu berlari. Dicubitnya muka ayah, dipeluknya, dan diraba tangannya. Dingin sekali. Segeralah diambil telepon dan dihubungi dokter di sekitar kompleks rumah kami.

"Dok, cepat ke sini. Suami saya gag bergerak dok"

Tak berapa lama, Dokter Andi datang. Badan ayah sudah terbujur kaku. Diperiksanya denyut nadi dan denyut jantung. "Ibu, kita bawa ke rumah sakit aja ya" Dokter menjawab. Wajahnya sebetulnya ingin berucap, hanya kurang yakin.

Di rumah sakit, aku dan ibu menunggu di luar ruang ICU. Aku heran, pagi itu tumben burung kutilang ayah tidak berkicau. Biasanya, dia paling ramai membangunkan tidur kami.

"Bu, mohon maaf ya, Bapaknya sudah tidak tertolong" Ucapan seorang dokter yang baru keluar dari ICU. Terdengar lirih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun