Mohon tunggu...
Y. Edward Horas S.
Y. Edward Horas S. Mohon Tunggu... Penulis - Cerpenis.

Nomine Terbaik Fiksi (Penghargaan Kompasiana 2021). Peraih Artikel Terfavorit (Kompetisi Aparatur Menulis 2020). Pernah menulis opini di KompasTV. Kontributor tulisan dalam buku Pelangi Budaya dan Insan Nusantara. Pendiri Sayembara Menulis Cerpen IG @cerpen_sastra, Pendiri Perkumpulan Pencinta Cerpen (Pulpen) Kompasiana, Pendiri Komunitas Kompasianer Jakarta (Kopaja71), Pendiri Lomba Membaca Cerpen di IG (@lombabacacerpen), dan Pendiri Cerita Indonesia di Kompasiana (Indosiana). Enam buku antologi cerpennya: Rahimku Masih Kosong (terbaru) (Guepedia, 2021), Juang (YPTD, 2020), Kucing Kakak (Guepedia, 2021), Tiga Rahasia pada Suatu Malam Menjelang Pernikahan (Guepedia, 2021), Dua Jempol Kaki di Bawah Gorden (Guepedia, 2021), dan Pelajaran Malam Pertama (Guepedia, 2021). Satu buku antologi puisi: Coretan Sajak Si Pengarang pada Suatu Masa (Guepedia, 2021). Dua buku tip: Praktik Mudah Menulis Cerpen (Guepedia, 2021) dan Praktik Mudah Menulis Cerpen (Bagian 2) (Guepedia, 2021).

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mempermainkan Rasa Iba, Antara Cerdik dan Jahat

15 Juli 2020   08:09 Diperbarui: 16 Juli 2020   16:00 1134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Tangan Seorang Peminta-minta Ilustrasi pengemis. (Shutterstock via KOMPAS.com)

Zaman sekarang, mencari duit diakui susahnya minta ampun. Banyak orang menjadi susah akibat terkena pemutusan hubungan kerja, dan curahan hatinya gampang ditemui di berbagai media yang ada. Itu semua gegara Corona. 

Eits, tapi tunggu dulu, penulis tidak akan bahas tentang Corona di sini. Tulisan ini hanyalah bahasan singkat tentang cerita orang yang meminta-minta di jalanan, pengemis namanya.

Sudah sangat terbiasa terdengar kabar bahwa pengemis telah ditemukan kaya raya di kampungnya, memiliki harta dan rumah yang mewah. Ini semua dibeli dari hasil mengemis uang di kota besar, ibukota salah satunya. 

Selain itu, modus membawa anak ketika meminta-minta, juga kerap kali ditemui di sekitar lingkungan kediaman kita. Bukan anaknya sendiri, tetapi hasil menyewa, sebagai modal mencuri perhatian sewaktu mengemis. Inilah selidik punya selidik, dimana penulis pernah baca beritanya.

Pengemis yang Membawa Anak, Sumber: tempo.co
Pengemis yang Membawa Anak, Sumber: tempo.co

Ada pula yang pura-pura cacat, berdandan sedemikian rupa sehingga terlihat seolah-olah cacat, untuk menarik simpati orang yang melewatinya. Meskipun, ada pula yang cacat benaran.

Bahkan, di salah satu kanal media sosial, ada yang sengaja membuntuti seorang pengemis, karena diliputi rasa ingin tahu bagaimana sebenarnya kehidupan sehari-hari pengemis tersebut. Setelah aktivitas mengemis yang dia lakukan di jalan-jalan kota besar, apa yang berikutnya dia kerjakan. 

Pengemis ini mengemis dalam kondisi terlihat bungkuk dan mengenakan tongkat sebagai alat bantu untuk berjalan. Setelah diselidiki, ternyata setelah mengemis, ia melepaskan "baju dinasnya", menggantinya dengan busana yang terlihat mewah di dalam sebuah mobil, serta menggunakan uang hasil mengemis untuk berbelanja. Waooowww...

Memang terlihat kasusnya terjadi di luar negeri, tetapi tidak menutup kemungkinan di dalam negeri bisa pula ada.


Lalu, apa yang bisa dipahami dari cerita tersebut? 

Ini adalah sebuah tindakan seseorang dalam mencari uang (penulis tidak suka menyebut sebagai penghasilan, karena penghasilan hanya untuk balasan orang yang bekerja, sementara mengemis bukanlah sebuah pekerjaan) dengan mempermainkan rasa iba orang-orang. Sebuah rasa yang berbelas kasihan, terharu, dan kasihan, kurang lebih seperti itu KBBI menjelaskannya.

Mereka para pengemis mencari akal bagaimana caranya mudah mendapatkan uang tanpa harus bekerja keras. Dengan berpenampilan menyedihkan yang menimbulkan rasa iba, itulah salah satu hasil pikir otak mereka. 

Cerdik bukan? Cerdik, karena modal sedikit, untung berbukit-bukit. Dan kecerdikan ini sedikit banyak berhasil meraup rupiah yang tidak sedikit nilainya. Menggiurkan.

Ilustrasi Cerdik, Banyak Akal, Sumber: kids.grid.id
Ilustrasi Cerdik, Banyak Akal, Sumber: kids.grid.id
Kecerdikan ini sekaligus juga adalah sebuah kejahatan. Mengapa begitu? Karena mereka telah menipu orang-orang yang berniat baik untuk memberi. Dengan mempermainkan rasa ibanya.

...

Jadi kesimpulannya? 

Penulis tidak bermaksud mengajarkan untuk selalu menanamkan rasa curiga kepada pembaca setiap kali menemui kalangan seperti mereka. 

Penulis juga tidak melarang pembaca untuk memberi bantuan karena rasa iba. Hanya saja, lebih baik kita lebih cerdas pikir menghadapinya, agar tidak kalah dengan kecerdikan mereka. 

Lagian, sudah banyak pula lembaga-lembaga resmi yang pekerjaannya memang mengumpulkan dana untuk membantu orang-orang yang kesusahan, salah satunya yang benar-benar mereka. Salurkan saja lewat lembaga ini.

Jangan karena mudahnya mengedepankan rasa iba, kita telah melestarikan budaya meminta-minta.

Ilustrasi Meminta-minta, Sumber: inspiradata.com
Ilustrasi Meminta-minta, Sumber: inspiradata.com
"Sesungguhnya, mempermainkan rasa iba adalah sebuah kecerdikan di dalam kejahatan."

Waspadalah! Waspadalah!  (Mengutip kata Bang Napi)

...

Jakarta,
15 Juli 2020
Sang Babu Rakyat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun