Mohon tunggu...
Honing Alvianto Bana
Honing Alvianto Bana Mohon Tunggu... Petani - Hidup adalah kesunyian masing-masing

Seperti banyak laki-laki yang kau temui di persimpangan jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Nenek susu panjang

24 April 2020   03:20 Diperbarui: 24 April 2020   07:40 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: nenek susu panjang

Siang itu ketika pulang sekolah,  kami berjalan sambil menendang-nendang rumput ditepi jalan. Tinus memegang sepotong kayu kering sebesar ibu jari. Matanya memperhatikan rumput-rumput disepanjang jalan. Celana olah raga-nya melorot ke bawah, membuat belahan pantatnya hampir kelihatan. 

Hari itu adalah hari jumat. Di Sekolah kami - SD impres Oenasi, setiap siswa wajib menggunakan pakian olah raga. Celananya berwarna hijau, sedangkan bajunya berwarna kuning - mirip warna partai penguasa saat orde baru itu. 

"Jangan tendang lagi, Enos. Kau membuat mereka ketakutan." 

Tinus berjongkok dan memukul sebuah batu sebesar kepala bayi. Seekor belalang melompat ke celah semak-semak.

Ada banyak potongan kayu kering berserakan di tepi jalan ini. Tinus   mengambil salah satunya, dan mulai memukul rerumputan itu. Setiap ia menghantamkan kayu ke rumput, ingus kental mengalir dari hidungnya yang pesek.

Saya melihat sebatang pohon beringin terlentang ditepi jalan. Pohon itu dulunya sangat rimbun. Orang-orang suka berteduh dibawahnya  ketika pulang dari pasar. Mungkin ada yang ingin membangun rumah ditempat itu.

Sebagian tanah disini memang sudah di jual oleh pemiliknya. Dulu tanah disekitar sini milik Pak lurah Nonohonis. Namanya Pe'u Peoboko. Orangnya sangat jahat. Jika marah, wajahnya mirip Firaun. Kata Tinus, Pak lurah membutuhkan uang untuk anaknya yang sedang bersekolah di jawa. Sebab itulah, Pak lurah menjual sebagian tanahnya. 

Kami berjalan menuruni bukit dan melewati jalan setapak, sebelum akhirnya menyebrangi sungai. Rumah dan sekolah kami memang dipisahkan oleh sebuah sungai dan bukit. 

Saya melihat seekor sapi mencoba menyeberang sungai. "Itu sapi-nya Om Taosu," teriak saya. Saya mengenal cap dipunggungnya. Sebetulnya saya ingin berjalan lebih cepat untuk memberi tahu Om Taosu bahwa sapinya sedang terlepas. Tapi kata Tinus, tidak usah. Kita harus mandi dulu di kolam sebelum pulang ke rumah. 

Tinus bilang kolam itu tak begitu dalam. Sangat cocok buat anak seumuran kami. Kalau kami langsung pulang hanya untuk memberi tahu Om Taosu, nanti kami tak bisa kembali lagi. 

"Sapi itu tidak akan nyasar, Enos . Sapi akan kembali ke kandangnya. Mereka sama seperti manusia yang akan kembali ke rumah," kata Tinus dengan begitu meyakinkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun