Mohon tunggu...
Honing Alvianto Bana
Honing Alvianto Bana Mohon Tunggu... Petani - Hidup adalah kesunyian masing-masing

Seperti banyak laki-laki yang kau temui di persimpangan jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cekdam

24 April 2020   01:27 Diperbarui: 24 April 2020   07:45 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:Memancing di Cekdam. (Antoni reis tanesi)

"Tapi kalau kau langsung memanggil nama saya, ibu pasti akan curiga," sambung saya.

"Kalau begitu, saya akan berteriak seperti ini: awuaa wua..awuaa wua," Tinus mencontohkan dengan kedua tangan membentuk corong di depan mulut-nya. Saya setuju. Kami berjalan lebih cepat.

"Tinuuuus", Melky Aus'ana meneriaki Tinus dari atas motor sambil berlalu dengan ojek langganan orang tua-nya.

***

Tampak awan bergerak pelan seperti kapas. Seekor elang berputar-putar dan sesekali melengking. Kami berjalan melewati jalan setapak, kemudian memasuki hutan dan beberapa kebun milik warga, sebelum akhirnya tiba dipinggir Cekdam.

Dari kejauhan, tampak beberapa orang sedang memancing di seberang Cekdam. Tinus lalu mengeluarkan setumpuk cacing dari ember. Ia kemudian menaruh seekor cacing sebesar lidi diatas telapak tangannya. Cacing itu menggeliat seperti ular. Tinus bangkit mengambil sehelai daun keladi, menaruh segenggam tanah, dan memindahkan cacing-cacing itu ke dalamnya.

"Pegang ini." Tinus menyeka keringat dengan lengan kirinya. Ia mengambil seekor cacing dan memotong tubuhnya dengan kukunya yang hitam. Ia lalu meludah beberapa kali pada mata kail.

"Enos, kita pindak kesebelah sana saja," kata Tinus sambil menunjuk kearah tembok setinggi setengah meter.

Dekat pinggir Cekdam ada sebuah tembok bekas penghalang air yang sebagiannya telah jebol. Tinus menyuruh saya memegang kail. Ia lalu memanjat tembok itu. Saya menyusul di belakangnya. Kami duduk berdampingan. Angin berhembus menerpa rambut dan wajah kami. Air di sini tampak tenang. Tinus bersiul dan melempar kailnya. Jauh di seberang Cekdam tampak beberapa ekor sapi sedang minum.

Di sebelah kami ada dua orang sedang memancing. Sepertinya mereka juga baru saja memancing. Ember mereka terlihat belum terisi ikan. Kami menunggu kail bergerak dengan lamunan masing-masing. Entah tentang apa. Hanya diri sendiri yang tahu.

"Dua orang itu pernah mati disini." Sekilas dalam pikiran saya berkelibat cerita ayah tentang dua orang yang pernah mati ditarik setan. Tapi saya tidak merasakan apa-apa. Tidak ada yang menarik saya dan Tinus. Tidak ada setan disini. Ayah sengaja menakuti agar saya tidak datang ke Cekdam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun