Mohon tunggu...
Honing Alvianto Bana
Honing Alvianto Bana Mohon Tunggu... Petani - Hidup adalah kesunyian masing-masing

Seperti banyak laki-laki yang kau temui di persimpangan jalan

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cekdam

24 April 2020   01:27 Diperbarui: 24 April 2020   07:45 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi:Memancing di Cekdam. (Antoni reis tanesi)

"Tidak ada", saya kembali menjawab.

"Lihat dulu sebelum bertanya", suara ibu semakin meninggi.

Saya menggaruk kepala, menggeser sebuah kursi plastik lalu menunduk disekitar kaki meja. Ada empat buah botol disini, tapi hanya satu yang terisi. Yang lain kosong, seperti hatinya Pe'u- pemuda yang setiap hari berdiri diujung gang, tapi belum pernah memiliki kekasih.

Saat saya hendak memegang botol itu, sepasang kecoa berlari diantara kaki saya. "Wuhuhu", saya terkejut sambil setengah melompat. Di ujung salah satu kaki meja, terlihat sebilah parang terlentang seperti minta diperkosa.

Saya kemudian mengambil botol berisi minyak tanah, berjalan kearah dapur, menyodorkannya kepada ibu dan ikut duduk disitu. Saya membantu ibu menaruh bebera belahan kayu ditungku dan sesekali melihat ke tanah. Disebelah kanan tungku, terlihat semut-semut merah berpapasan, lalu kembali berjalan, berpapasan lagi, begitu seterusnya. 

Tiba -tiba terdengar bunyi klakson sepeda motor di depan rumah, ayah baru saja pulang dari kantor. Saat bunyi sepeda motor ayah berhenti, dua ekor babi terus berteriak dibalik dapur. Keras sekali. Entah karena lapar ataukah kerasukan.

"Cepat kasih makan itu babi. Ayah akan marah kalau mendengar mereka berteriak seperti itu ", ibu berbicara sambil menuangkan minyak tanah ke beberapa potong kayu.

Saya benci sekali babi-babi itu, ayah pernah memukul saya hanya karena lupa memberi makan. Saya menangis tersedu-sedu dibalik dapur. Ayah sepertinya lebih mencintai babi dari pada anaknya sendiri.

Saya kemudian berjalan ke arah babi-babi itu, mengambil setumpuk daun lamtoro dan menaruhnya didalam palungan. Tapi mereka tak juga ingin makan. Mereka terus berteriak. Seakan tak sudi makan dari hasil pemberian musuh. Saya tak peduli. Saya lalu menyelinap diantar beberapa rumpun pisang  kemudian diam-diam berlari ke arah setapak, tempat Tinus menunggu.

"Awuaa..", Tinus berhenti berteriak ketika melihat saya muncul dari ujung jalan. Ia berdiri didekat bahan [2] sambil memegang sebuah ember berwarna hitam. Disampingnya terlihat sebuah pancing bersandar dengan gagah pada sebatang pohon gamal.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun