Mohon tunggu...
Honing Alvianto Bana
Honing Alvianto Bana Mohon Tunggu... Petani - Hidup adalah kesunyian masing-masing

Seperti banyak laki-laki yang kau temui di persimpangan jalan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Untuk yang Suka Berdebat Soal Agama

23 Desember 2017   09:22 Diperbarui: 23 Desember 2017   21:58 906
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa tahun belakangan ini, media kita sering dibanjiri oleh berita-berita yang cukup merisaukan. berita  tentang sekelompok orang yang masih saja suka berdebat, saling fitnah, bahkan sampai adu fisik hanya soal hal sepeleh, yaitu agama. saya sebut hal sepeleh karna nilai-nilai di dalam agama apapun itu tak perlu diperdebatkan, cukup dijalani saja. gitu aja kog repot, kata Gusdur.

nah kita semua pasti sudah pernah melihat perdebatan soal pandang agama-agama di Indonesia, baik di media sosial seperti facebook, twiteer, instagram atau bahkan yang lebih seru lagi jika kita melihat perdebatan-perdebatan itu di youtube.

jika kita yang sudah terbiasa dengan perbedaan pandangan, bahkan menghargai perbedaan itu maka perdebatan itu pasti kita nikmati dan maklumi, jika hanya sebatas berbeda pendapat. Tapi bagi orang-orang yang tak terbiasa dengan hal-hal semacam itu, maka sangat mudah tersulut amarah untuk menyerang, baik secara verbal maupun secara fisik.

jika kita mau untuk melihat dan bertanya lebih jauh lagi soal kenapa perbedaan pandangan itu bisa terjadi maka sebetulnya sangat mudah kita temukan jawabannya.

begini, kalau ada seseorang bernama Petrus yang kebetulan beragama kristen. dia sejak kecil sudah di didik tentang konsep Ke-Tuhan-an versi kristen, maka informasi-informasi yang diberikan oleh kedua orang tuanya didalam keluarga bahkan di lingkungan gereja akan berubah menjadi pengetahuan yang dia anggap sebagai suatu kebenaran yang mutlak. begitu juga sebaliknya, jika ada  seseorang bernama Ilham yang kebetulan sejak kecil di ajarkan tentang konsep Ke-Tuhan-an menurut Islam, maka lama-kelamaan informasi-informasi yang ia dapat dari orang tuanya atau dari ceramah yang ia dengar di masjid itu akan menjadi pengetahun yang dia anggap benar. jadi sederhananya persepsi kita atau pengetahuan kita itu dibentuk dari lingkungan, baik itu lingkungan keluarga, lingkungan sekolah maupun lingkungan sosial.

nah misalnya begini, tiba-tiba si Petrus yang beragama Kristen bertemu dengan si Ilham yang beragama Islam dan mereka saling menanyakan konsep tentang Ke-Tuhan-an dari agama masing-masing.  bisa dipastikan, saat si petrus sedang menjelaskan tentang agamanya dan si Ilham merasa ada sesuatu yang berbeda atau mungkin tidak sesuai dengan apa yang ia yakini, maka bisa di pastikan ia akan menertawan atau bahkan mengatakan bahwa apa yang kau yakini itu salah. begitu juga sebaliknya, jika si ilham menjelaskan dan si petrus merasa ada sesuatu yang berbeda dengan apa yang ia yakini selama ini maka bisa saja dia menertawan bahkan mengatakan itu salah. 

Jika itu yang terjadi maka sudah tentu mereka berdua akan berdebat sampai mulut berbusa-busa, tanpa solusi yang jelas. mereka berdua sebetulnya tak menyadari bahwa apa yang mereka yakini itu bersumber dan dibangun dari dua keluarga yang berbeda. Si petrus dan si Ilham lupa kalau apa yang mereka yakini itu sudahlah benar, yang salah itu kalau mereka dua saling menyalahkan hanya karena perbedaan. bukankah Allah yang mereka yakini itu juga adalah Allah yang menciptakan perbedaan itu?

okey, saya lanjutkan lagi soal perbedaan yang berujung pada perdebatan tadi. ada hal yang lucu sekaligus menggelikan jika kita membaca, melihat atau mendengarkan orang-orang yang suka berdebat soal agama. disaat mereka berdebat, masing-masing dari mereka sering kali berlari kebalik sains ( ilmu pengetahuna ilmiah ) untuk saling membenarkan diri. ada yang meminjam teori A, ada juga yang mengatasnamakan penelitian B, bahkan ada yang menolak teori A dan penelitian B sekaligus jika apa yang disampaikan itu dianggap berlawanan dengan apa yang ia yakini. 

nah sampai disini saya ingin sekali berceramah kepada  orang-orang seperti mereka yang sering kali menganggap ilmu pengetahuan (sains) sebagai sesuatu yang kebenarannya dianggap mutlak dan perlu untuk dipakai demi mempertahankan keyakinannya.

Pengetahuan ilmiah itu tidak selamanya benar. kita bisa melihat sejarah sains itu penuh dengan kuburan teori-teori yang indah dan mempesona, tapi sering kali gugur ketika diuji dalam kesesuaiannya dengan realitas. karena itu kebenaran ilmiah selalu bersifat sementara. kenapa hanya sementara?  karena pengtahuan itu dianggap benar sejauh belum ada data yang kokoh untuk menggugurkan , atau belum ada teori lain yg bisa menjelaskan dengan lebih baik. Dengan kebenaran yang bersifat sementara itulah pengetahuan bisa berkembang, bertumbuh dan bahkan melahirkan pengetahuan-pengetahuan baru yang bisa bermanfaat bagi umat manusia. bisa dibayangkan, jika kebenaran dalam sains itu kita anggap sebagai sebuah kebenaran yang mutlak. jika demikian maka sudah tentu tak perlu ada lagi penelitian untuk menguji sebuah teori, sudah tentu tidak akan ada penemuan-penemuan baru lagi. sudah tentu mahasiswa tak perlu bersusah payah membuat skripsi dan jurnal, dan saat itu  bisa dibilang bahwa sains telah mati.

Singkatnya, kebenaran ilmiah tidak bisa dikatakan sebagai sebuah kebenaran mutlak, karena slalu bersifat sementara. Jadi kalau melihat orang-orang  yang berdebat tentang agama atau ingin membuktikan bahwa Tuhan versinya yang paling benar dengan menggunakan dukungan pengetahuan ilmiah atau teori-teori ilmiah,  maka saya tidak bisa membayangkan jika suatu saat teori-teori yang dia yakini kebenarannya itu ditumbangkan oleh teori-teori yang lain. bisa dipastikan imannya juga bisa saja ikut menguap, atau mungkin pikiran-pikiran yg Ia genggam mati-matian itu  bisa saja melorot sampai kelutut. Agama dengan kitab apapun itu yang kita anut dan yakini itu sudah final kebenarannya, maka tak perlu mencari pembenaran lagi. cukup hentikan perdebatan itu, dan kita mulai menghormati setiap perbedaan yang ada. salam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun