Mulutku terkunci rapat, lidahku begitu kelu untuk berucap satu bait abjad. Rentetan pekikan memaksaku menutup telinga rapat-rapat.
Manusia-manusia itu berlari pontang-panting meminta pertolongan. Tungkai mereka bergetar, terseok-seok di atas aspal hitam membara. Tangan mereka mengais belas kasih, tetapi tak dapat meraih jernih.Â
"Tolong ...." Rintihan itu menyapa.
Aku tetap bergeming. Mataku memejam bersama gelengan yang semakin kuat. Sudut netraku mengalirkan cairan panas yang membasahi pipi. Amukan gelombang kesakitanku tak terbantahkan, menyapu habis deretan keangkuhan yang selama ini bertakhta.
"Ampuni kami!"
Terdengar suara dari puncak langit yang kelam.
"Selamatkan kami!"
Kembali terdengar gema dari dasar palung yang mencekam.Â
Jeritan itu membuatku semakin bergetar. Tubuhku hendak menolak, tetapi dayaku hanya secuil umpan di kail. Satu per satu onggokan raga tak bernayawa terhampar. Riuh rendah ketakutan berganti sunyi senyap penyesalan.
Gelombang pasang mereda bersama pusaran angin yang melemah. Jarum jam kehilangan porosnya, berhenti mengutarakan waktu yang berputar. Kompas tak mampu menunjuk utara, sebab medannya telah porak-peranda.
Dahulu aku begitu kukuh, menjulangkan kanopi untuk rindang para pengembara. Aku tawarkan kehidupan dari bentang biru yang luas. Kugeser sedikit pijakan mereka, tetapi manusia-manusia itu tak pernah sadar telah melukaiku. Mereka menebas habis rimbaku, menggeruk dalam hamparanku, bahkan menanam ledakan yang menghancurkan benih-benih baru.