Jagat semesta terbakar tatapan srangenge yang terbelalak satu shaf di depan langit, Semilir angin Kamis hilir-mudik membawa setangkup serpihan aroma tai ucing,Â
derap langkah tukang chuankie tak henti menempa jalanan gang yang hancur, lagu "new normal" terdengar sangat merdu di speaker milik penghuni kontrakan. Begitulah, suasana ketika saya mulai mengetikan kata "Nyirung."Â
Nyirung! Sebuah aktivitas musiman di mana sekelompok kecil umat manusia secara berjamaah dan berbondong-bondong mencari ubi di beberapa lahan sisa panen pemiliknya tanpa alat gali apapun.Â
Untuk mengoreh ubi yang masih tertimbun di dalam tanah, biasanya para jamaah hanya akan menggunakan ke dua telapak tangannya saja. Namun, apabila medan tidak memungkinkan; Tekstur tanah sangat keras dan ubi mengakar sangat kuat,Â
proses penggalian akan sedikit dibantu dengan sebilah bambu berukuran 30cm x 5cm yang sebelumnya sudah dipersiapkan terlebih dahulu.Â
Sebagian besar, bilah bambu tersebut didapatkan dari pagar rumah orang yang dipatahkan pada saat perjalanan menuju ke zona tempur.Â
Akhir kisah, menurut Profesor Dr. Drs. Holidincom, M.Si., M.Sc, Ph.D. "Jika seandainya pencarian di ladang sisa panen tidak membuahkan hasil, atau pendapatan kurang memuaskan,Â
maka pencarian akan langsung dilanjutkan ke ladang-ladang yang belum dipanen dengan penuh perhitungan dan rasa waswas karena takut ketahuan sama pemilik ladang ubi tersebut."