Mohon tunggu...
cholid baidaie
cholid baidaie Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Menulis untuk menghidupkan pikiran

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mengapa Orang Narsistik Lebih Mudah Tergoda Percaya pada Teori Konspirasi?

24 Februari 2023   23:50 Diperbarui: 24 Februari 2023   23:47 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gempa bumi mematikan di Turki dan Suriah masih menyisakan tanda tanya besar di benak sebagian orang. Seolah tak cukup tragis, ada teori konspirasi yang menganggap bencana itu bukan hasil pergeseran lempeng tektonik, melainkan ulah pihak-pihak jahat yang ingin mengadu domba manusia.

Tak jarang, teori konspirasi semacam ini menyebar dengan pesat melalui media sosial, termasuk di Indonesia. Salah satu akun yang mengusung teori konspirasi tentang gempa bumi adalah @DokterTifa. Menurut akun tersebut, Amerika Serikat lah yang berada di balik tragedi tersebut, dan mereka memanfaatkan teknologi canggih bernama High-frequency Active Auroral Research Program alias (HAARP).

HAARP sebenarnya dikembangkan oleh University of Alaska Fairbanks untuk penelitian tentang atmosfer dan lapisan ionosfer. Namun, beberapa orang percaya bahwa teknologi tersebut dapat digunakan untuk menimbulkan badai dan bahkan gempa bumi dengan kekuatan luar biasa.

Dugaan bahwa HAARP bisa menyebabkan gempa bumi memang terdengar mencengangkan, bahkan Nick Begich Jr, anak mantan anggota parlemen Alaska AS, lebih jauh lagi dengan menyebut teknologi ini mampu mengendalikan pikiran manusia. Tak heran jika pemikirannya yang liar itu diungkapkan secara khusus di situs Earthpulse.com.

Namun, akun @DokterTifa yang mengungkapkan teori konspirasi tentang gempa bumi di Turki dan Suriah, tampaknya masih bingung bagaimana sebenarnya cara kerja HAARP. Bahkan ketika ditanya, tak ada jawaban yang jelas. Yang ada hanya klaim bahwa tokoh penguat teorinya, Haluk zdil asal Turki, adalah seorang ilmuwan, padahal kenyataannya dia hanya seorang penulis.

Tak hanya itu, teori konspirasi ini juga terkesan berbelit-belit dan tidak sinkron satu sama lain. Ada yang menuduh gempa bumi di Turki terjadi karena negara itu menolak bekerja sama dengan NATO, sementara yang lain menyebut Presiden Turki Tayyip Recep Erdogan sengaja menyebarkan bencana alam tersebut untuk mengamankan posisinya pada tahun pemilu.

Namun, fakta dan data ilmiah menunjukkan bahwa teori konspirasi semacam ini tak memiliki landasan yang kuat. Gempa bumi di Turki dan Suriah merupakan hasil pergeseran lempeng tektonik yang tak bisa diprediksi dengan akurat. Oleh karena itu, jangan tergoda dengan propaganda dan hoaks yang beredar di media sosial. Tetaplah mencari kebenaran dengan berpegang pada fakta dan data yang valid.

Bukan rahasia lagi bahwa media sosial menjadi sarana utama penyebaran berita palsu atau yang populer disebut dengan hoax. Gempa bumi yang terjadi di Turki dan Suriah ini tak luput dari serangan hoax. Konspirasi yang beredar di media sosial, misalnya, menghubungkan gempa bumi dengan teknologi HAARP, meski klaim tersebut tak pernah dibuktikan kebenarannya.

Namun, mengapa hoax mudah tersebar di media sosial? Menurut sebuah penelitian, berita palsu memiliki unsur kebaruan yang lebih tinggi dibandingkan berita fakta. Hal itu menjadikannya "istimewa" di mata pembaca, sehingga tak heran jika berita palsu menyebar lebih cepat dibandingkan berita yang benar-benar faktual.

Tak hanya itu, akun-akun yang menyebarkan berita palsu pun semakin sulit diidentifikasi. Sebuah penelitian di media sosial Twitter menemukan bahwa lebih dari 3 ribu akun menyebar 126 ribu cerita palsu yang dicuitkan lebih dari 45 ribu kali. Dari situlah, kita bisa menyimpulkan bahwa berita palsu menjadi semakin "menarik" karena sulit untuk diidentifikasi siapa penyebar dan motivasi di baliknya.

Berita palsu selalu saja menjadi pusat perhatian dan viral di media sosial. Sebuah penelitian oleh Deb Roy, Sinan Aral, dan Soroush Vosoughi menunjukkan bahwa untuk mengalahkan berita palsu, berita yang benar harus berjuang enam kali lebih keras untuk menjangkau 1.500 orang. Dinamika penyebaran rumor yang benar dan salah juga telah diamati oleh para peneliti. Dalam hal ini, kebohongan selalu menyebar lebih jauh, lebih cepat, lebih dalam, dan lebih luas daripada kebenaran.

Munculnya teori konspirasi juga menjadi sorotan para ahli. Menurut peneliti dari Anthony Lantian, Karen M. Douglas, dan kawan-kawan, orang-orang mulai banyak percaya pada teori konspirasi sejak peristiwa penyerangan surat kabar Charlie Hebdo di Prancis tahun 2015 dan tsunami di Jepang pada tahun 2006. Charlie Hebdo yang kerap menyerang Mossad dianggap sedang menyudutkan umat Islam, sedangkan bencana tsunami Jepang dan gempa di Turki dipercaya sebagai hasil serangan Amerika.

Dalam penelitian berjudul "I Know Things They Don't Know!": The Role of Need for Uniqueness in Belief in Conspiracy Theories (2017), Douglas, dkk menemukan fakta menarik. Dari penelitian yang dilakukan kepada 200 orang penduduk Prancis, mereka menemukan bahwa orang-orang yang ingin terlihat unik cenderung lebih mempercayai konspirasi.Sungguh menarik, bukan?

Bukti-bukti dari penelitian ini membuktikan bahwa mempercayai konspirasi adalah cara untuk memuaskan hasrat orang untuk terlihat unik. Teori konspirasi terlihat lebih menarik bagi mereka yang ingin tampil beda atau merasa perlu untuk berbeda di mata orang lain, begitu kata Douglas dan kawan-kawan dalam penelitiannya.

Namun, seiring berjalannya waktu, teori konspirasi yang awalnya hanya dianggap sebagai lelucon mulai memiliki dampak yang serius, mulai dari apatis dalam politik hingga anti-vaksin. Cameron S. Kay, seorang peneliti dari Universitas Oregon, menjelaskan bagaimana jenis narsisme juga berperan dalam kepercayaan pada teori konspirasi.

Kay membagi narsisme menjadi dua jenis: grandiose narcissism dan vulnerable narcissism. Hasil penelitian pada 857 orang menunjukkan bahwa orang-orang yang cenderung sangat narsistik, baik dari jenis mana pun, cenderung percaya pada teori konspirasi. Grandiose narcissism berargumen bahwa teori konspirasi bisa memenuhi hasrat tentang keunikan mereka; sedangkan vulnerable narcissism merasa terhubung dengan teori konspirasi karena terkadang membantu menjawab paranoia mereka terhadap beberapa hal.

"Penemuan terbaru mengindikasikan bahwa orang-orang yang rentan terhadap hal delusional cenderung percaya pada teori konspirasi, tak peduli jenis narsisme yang mereka miliki," catat Kay.

Tom Nichols, mantan profesor dari U.S Naval War College, dalam bukunya The Death of Expertise (2017) memperingatkan tentang bahaya konspirasi yang melebihi hukum parsimony. Hukum parsimony mengatakan bahwa penjelasan paling sederhana adalah yang terbaik, namun konspirasi seringkali mengabaikannya.

Nichols memberi contoh: Anda mendengar suara keras dari ruangan sebelah, lalu ketika Anda masuk, Anda melihat seorang pria meringis kesakitan sambil memegang kakinya dan botol bir pecah di sekitarnya. Asumsi paling masuk akal adalah pria tersebut menjatuhkan kotak bir dan pecah, lalu menginjak pecahannya. Namun, ada banyak kemungkinan lain yang bisa terjadi.

Masalahnya, orang-orang seperti @DokterTifa dan Nick Begich Jr. seringkali memilih asumsi yang paling aneh sebagai penjelasan untuk suatu peristiwa. Hal ini membuat mereka terlihat "unik" dibanding orang lain, meskipun kebenaran dari teori konspirasi tersebut dapat sangat meragukan atau bahkan salah sama sekali. Akhirnya, orang yang mengikuti konspirasi ini hanya terjebak dalam kebohongan dan tidak pernah mengetahui kebenaran yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun