Mohon tunggu...
HIDAYAH RAHMAD
HIDAYAH RAHMAD Mohon Tunggu... Lainnya - -HnR-

Pekerja Profesional dan Interpreter

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Petani: Martir Industri Pertanian

30 Juni 2020   14:45 Diperbarui: 30 Juni 2020   16:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Petani [Sumber: www.pxfuel.com]

Menjadi petani konvensional di kampung itu memang harus besar sabarnya, nriman ing pandum (mudah mensyukuri hasil), dan cukup dengan yang sedikit. Kenyataannya memang harus demikian. Dan kadang saya yang hanya menyaksikan kehidupan mereka tanpa menjalani pun sering merasa prihatin.

Suatu hari, saya pernah menerima telpon dari ibu saya di kampung. Blio mengabarkan bahwa lahan pertanian saya, yang blio garap sudah masuk masa panen. Kali ini sebagian ditanami padi seperti biasanya, dan sebagian lagi ditanami buah semangka.

Seperti yang sudah-sudah, orangtua saya selalu melaporkan hasil panennya kepada saya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengelolaan lahan yang saya percayakan kepada mereka. Meski demikian, saya tak penah meminta dan menerima sedikit pun hasil dari usaha pertanian itu.

Tujuan saya dari awal mempercayakan lahan pertanian kepada mereka adalah untuk kegiatan mereka supaya tidak nglangut di rumah, yang mungkin akan terasa membosankan bagi orangtua yang memasuki usia senja dan tidak memiliki kesibukan. Hal lumrah yang sering dikhawatirkan sebagian orangtua di kampung saya. Mereka selalu khawatir ketika di masa tua tak ada lagi yang bisa digarap sedangkan keinginan untuk berkegiatan masih ada. Bertani bagi orangtua saya adalah kegiatan mengisi waktu luang, syukur-syukur kalau ada hasilnya bisa dinikmati untuk mencukupi kebutuhan harian di kampung. Sesederhana itu.

Selama ini saya tak pernah mencoba untuk menghitung cash-flow dari usaha pertanian yang orangtua saya lakukan. Saya juga jarang bertanya apakah setiap panen ada untungnya, atau malah rugi. Yang penting orangtua saya mendapat kesenangan dari kegiatan menggarap lahan tersebut, ngiras pantes menjaga kesehatan, karena dengan berkegiatan di sawah ada jumlah kalori yang terbakar, meskipun kulit juga ikut terbakar, sih. Tetapi untungnya mereka tak pernah bermasalah dengan masalah kulit. Berbeda dengan kita, anak muda yang rewel nauzdubillah masalah  rona kulit. Baginya kulit menjadi gelap atau cerah tidak masalah, yang penting sehat.

Saat masa panen tiba, biasanya saya mendapat laporan secara lisan dari ibu saya, Blio selalu berusaha mengabari;

"Panennya bagus, Nak." Kalimat itu disampaikan dengan intonasi suara tampak bungah. "Tahun ini panennya kurang bagus, Nak." tentu saja dengan suara yang agak lesu.

Saya cukup mendengar saja, kalau sedang bagus paling ikut mendoakan semoga tambah berkah, dan jika hasil panennya kurang bagus, ya saya hibur hatinya biar tak kecewa. Tak perlu mempertanyakan sebab kenapanya. Sama sekali hal itu tak perlu.

***

Di masa pandemi ini, di mana pun kita dapat mendengar keluh mereka yang sedang kesusahan. Maka dari itu, beda dari biasanya, kali ini saya coba bertanya kepada Blio tentang panenannya. Mungkin saja kena dampak juga, dan  jawaban blio pun beda pula dari adatnya;

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun