Dengan membaca cepat, mungkin lisan saya masih bisa memastikan huruf demi hurufnya tak ada yang terlewat. Namun saya kehilangan kenikmatan dalam bertilawah itu sendiri. Saya merasa seperti orang mabuk di tengah ibadah, tak mengerti apa yang saya baca, tak memahami apa yang saya ucapkan.
Selain itu, mungkin pilihan untuk tilawah lambat dengan men-tadabburi artinya juga bisa jadi alternatif buat kaum malas tanpa target khatam seperti saya untuk tetap terlihat keren sekaligus jawaban paling elegan jika Ibu Mertua saya kembali bertanya di akhir Ramadhan;Â
"Tilawahnya khatam tidak, Mas?"Â
"Cuma sampai Juz 20, beserta terjemahannya!"
Masih terdengar keren, bukan? Â Eh, kok malah kedengaran sombong ya.. Astaghfirullaah.Â
Ramadhan tahun ini sudah berlalu, menjelang detika akhir saya mendengar Ibu Mertua saya berhasil khatam, dan tahun ini Blio The Only One dari keluarga kami. Sayangnya, jawaban keren yang sudah saya persiapkan di atas tak dapat saya sampaikan. Di Akhir Ramadhan Blio tidak juga menanyakan apakah menantunya ini khatam atau tidak. Mungkin Blio sudah bisa menebak jawabannya.