Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Buta Huruf Salah Siapa?

4 Februari 2023   20:46 Diperbarui: 4 Februari 2023   20:51 321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebuah negara jika ingin menjadi negara maju, setidaknya harus memenuhi 6 syarat yang salah satunya yaitu terjaminnya tingkat pendidikan. Melalui pendidikan yang terjamin tentu akan memengaruhi banyak faktor, sehingga ekonomi negara juga akan ikut naik. Namun sayangnya, pendidikan justru sering dimanfaatkan untuk komersial, imbasnya, banyak anak tak bisa menikmati jenjang pendidikan karena syarat yang rumit dan juga biaya yang mahal.

Di Indonesia sendiri, pemerintah sudah memberikan subsidi pendidikan untuk sekolah negeri, sehingga ada banyak sekali anak usia sekolah yang dapat mengenyam pendidikan. Namun, banyak juga dari mereka yang tidak bisa menikmati pendidikan, entah itu karena faktor biaya atau memang dari kemauan sang anak yang tidak ingin bersekolah.

Menurut data dari Kemendikbudristek, data anak yang putus sekolah pada tahun 2021 sebanyak 75.303 orang. Kendati demikian, tren penurunan anak putus sekolah cenderung menurun selama 6 tahun terakhir (dikutip dari laman Kata Data).

Bicara tentang anak yang putus sekolah, tak lengkap rasanya jika kita tidak melihat juga jumlah orang buta huruf yang ada di Indonesia.Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2021 mencatat, setidaknya ada 3,96% penduduk berusia 15 tahun ke atas di Indonesia mengalami buta huruf. Presentase itu menurun jika dibanding dengan tahun sebelumnya, yaitu 4%. Sedangkan pada kelompok usia 15 sampai 44 tahun, presentase jumlah orang buta huruf di Indonesia sebesar 0,73%, dan untuk kelompok usia 45 tahun ke atas jumlahnya 9,24% (dikutip dari laman Data Indonesia).

Nah dengan data yang sudah Saya paparkan barusan, tentu akan menimbulkan pertanyaa, "Apa penyebab dari banyaknya jumlah anak yang putus sekolah dan penyandang buta huruf di Indonesia?".

Jika kita membandingkan jumlah putus sekolah dan buta huruf pada zaman dulu dan sekarang, tentu jumlahnya tidak sebanyak dulu, karena orangtua zaman sekarang (baik di kota maupun di desa) sudah memberikan akses pendidikan ke anak-anaknya. Melihat peran orangtua yang ingin memberikan pendidikan yang terbaik untuk anaknya, tentu hal ini sangat bagus. Justru yang harus dipertanyakan yaitu, kenapa disaat orangtua sudah memberikan akses ke dunia pendidikan, namun anaknya justru menolak?

Untuk menjawab pertanyaan barusan tidaklah terlalu rumit, karena rata-rata anak yang memilih untuk putus sekolah diakibatkan oleh salahnya dalam memilih lingkungan pergaulan. Dalam kasus ini mungkin Saya akan mengambil sampel dari beberapa anak tetangga di rumah. Mereka yang masih usia belia memutuskan untuk berhenti bersekolah dan memilih menjadi pengamen, anak jalanan, maupun anak dengan pergaulan yang tidak jelas. Mereka yang berjenis kelamin laki-laki sering pergi entah ke mana (seringnya ngamen di lampu merah), dan yang perempuan tiba-tiba hamil di luar nikah padahal masih usia belia.

Yup, itulah realita yang terjadi di lingkungan Saya tinggal. Lantas, apakah orangtua mereka tidak melarang? Tidak menasehati? Tentu para orangtua sudah menasehti serta melarang, namun anak zaman sekarang lebih galak dari orangtuanya, dan alhasil, orangtuanya 'kalah' sehingga harus menuruti kemauan sang anak termasuk untuk putus sekolah.

Nah, sekarang Saya akan memberikan contoh kasus tentang anak yang tidak sekolah di lingkungan tempat Saya tinggal. Ada salah satu anak laki-laki sebut saja R, dia merupakan anak dari mantan ketua RT. Dengan kondisi keuangan yang kurang, ditambah dengan realita reproduksi yang tidak dijaga (banyak anak), otomatis akan membuat ekonomi keluarga semakin sulit.

Suatu ketika, Ibuku bertanya ke mantan ketua RT itu, "Kenapa anaknya tidak disekolahkan (Paud, waktu masih kecil)?". Jawabannya, "Halah, tidak Paud juga tidak apa-apa". Selang beberapa tahun kemudian Ibuku bertanya lagi, "Kenapa tidak disekolahkan di SD?". Mantan ketua RT itu hanya bisa senyum sembari menggaruk-garuk rambutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun