Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ngabalin Versus Everybody

13 Mei 2021   19:00 Diperbarui: 13 Mei 2021   19:07 302
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Presiden Jokowi dalam Rapat Terbatas tentang Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi pada bulan November tahun 2016, mengatakan bahwa dirinya ingin agar KPK diperkuat. Menurutnya, berdasarkan kelembagaannya KPK masih berbentuk komisi, yang berarti lembaga itu bisa bubar pada suatu saat. Presiden juga meminta Polri dan Kejaksaan Agung untuk mereformasi internal KPK, Polri dan Kejagung juga diminta oleh Jokowi untuk meningkatkan koordinasi dan sinergi dengan KPK.

Pada Oktober 2017, Presiden Jokowi kembali menekankan tentang komitmen Pemerintah untuk memperkuat KPK. Kemudian pada September 2019, Mantan Stafsus Presiden, Johan Budi, kembali menyampaikan bahwa Jokowi ingin memperkuat KPK melalui Revisi UU Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK.

Namun sayangnya, keinginan di atas ternyata hanya sekedar "halusinasi". Malahan, saat ini KPK semakin diperlemah dengan penonaktifan 75 pegawai KPK karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Keputusan itu tentu melukai hati rakyat, terlebih dengan aksi Reformasi Dikorupsi yang dihadiri oleh ribuan massa dari berbagai elemen sipil hingga mahasiswa.

Sebagai sebuah catatan, dalam tulisan kali ini Saya ingin membahas permasalahan yang terkait dengan KPK secara universal. Yang artinya, berbagai macam respon dari tokoh-tokoh publik dan juga lingkaran istana akan Saya bahas dalam tulisan kali ini.

Yang pertama dari Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari. Beliau meyakini bahwa ada unsur dendam pribadi Firli dengan orang-orang yang dinonaktifkan dari KPK. Menurutnya, mereka yang dinonaktifkan pernah mengkritik dan berbeda pendapat dengan Firli tentang pelanggaran kode etik yang pernah dilakukan oleh Firli.

Sebagai bahan informasi, Firli pernah menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK pada 2018-2019. Pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan di KPK adalah, bertemu dengan orang yang terseret kasus korupsi, menemui petinggi parpol, hingga menjemput ketua BPK dan menerimanya di kantornya.

Feri membagi 75 pegawai KPK yang dinonaktifkan menjadi 3 klaster. Pertama, ketua Satgas seperti Novel Baswedan dan Harun Al Rasyid yang baru saja memimpin OTT Bupati Nganjuk. Kedua, Anggota Satgas yang menangani banyak kasus besar yang terkait dengan petinggi/anggota parpol dan tokoh-tokoh tertentu. Ketiga, yaitu figur-figur yang membuat kebijakan Internal dan eksternal yang betul-betul membantu dalam pemberantasan korupsi.

Nah, dari pernyataan Feri Amsari di atas sedikit membuat kita mengerti "alasan di balik penonaktifan 75 pegawai KPK". Setidaknya, mereka yang dinonaktifkan adalah mereka yang pernah mengkritik Firli dan juga menangani banyak kasus besar korupsi. Pernyataan di atas seolah "make a sense", membuat kita lebih mudah untuk menyusun puzzle di balik penonaktifan 75 pegawai KPK.

Yang kedua, ekonom senior Faisal Basri mengkritik keras penonaktifan 75 pegawai KPK dengan menyerukan perlawanan kepada oligarki. Faisal menyerukan agar masyarakat tidak lagi membeli saham perusahaan yang dikuasai oleh oligarki dan penuh dengan praktik KKN. Ekonom senior itu juga menyuruh masyarakat untuk memboikot bank-bank, termasuk bank BUMN.

Menurutnya, masyarakat harus memboikot bank-bank yang membiayai perusahaan oligarki khususnya perusahaan batu bara yang tidak ramah lingkungan. Karena dengan boikot itulah saham-saham perusahaan yang dipenuhi oleh oligarki akan turun nilai/harga saham per lembarnya.

Ajakan Faisal menurutnya Saya sangat bagus, karena seruan boikot itu tidak ada unsur politiknya, justru dengan kita memboikot bank-bank yang mendanai perusahaan oligarki, artinya kita ikut andil dalam kelestarian lingkungan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun