Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Money

Kenapa Tesla Lebih Memilih India Ketimbang Indonesia?

17 April 2021   19:22 Diperbarui: 17 April 2021   19:27 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa bulan yang lalu publik sempat dihebohkan dengan kabar akan dibangunnya sebuah pabrik Tesla, tepatnya di kawasan industri Batang, Jawa Tengah. Respon masyarakat pun bervariatif, ada yang senang karena akan tercipta lapangan pekerjaan, petinggi negara pun dibuat senang karena kas negara akan bertambah. Namun ada pula yang beranggapan bahwa pembangunan pabrik Tesla akan semakin memperparah deforestasi, penggusuran, yang berakibat pada rusaknya ekosistem.

Pada tulisan kali ini Saya tidak akan membahas masalah beragam respon itu, tapi kepada "kenapa Tesla lebih memilih India ketimbang Indonesia?". Keputusan itu pun sontak saja membuat pemerintah kecewa, namun seharusnya kekecewaan itu dibarengi dengan intropeksi diri.

Bagus Putra Muljadi, seorang Diaspora Indonesia yang juga menjabat sebagai Assistant Professor of Chemical and Environmental Engineering di Universitas Nottingham, Inggris, menjelaskan kenapa Tesla lebih memilih India ketimbang Indonesia. Menurutnya, di Indonesia ada 4.500 Universitas namun yang bergelar PhD hanya sekitar 15% saja, sedangkan di India terdapat 1 juta penduduk yang bergelar PhD.

Dengan 4.500 Universitas, hanya sekitar 15% saja dosennya yang bergelar PhD. Artinya? Dosen di Indonesia banyak yang tidak tahu apa itu riset. Maka dari itu, pada tulisan Saya sebelumnya yang berjudul "Indonesia Punya Silicon Valley, Mungkinkah?" Saya menekankan tentang pentingnya "bibit" dan "bahan". Bibit adalah sumber daya manusia yang berkompeten, berkapasitas. Sedangkan bahan adalah riset. Indonesia mutlak untuk mempersiapkan dua hal tadi jika ingin bersaing dengan negara maju.

Bagus juga memberi saran, pemerintah Indonesia bisa membentuk kopassus keilmuan yang berisi 1.000 hingga 3.000 Mahasiswa bergelar Phd untuk dikirim ke luar negeri guna memperdalam ilmunya, atau istilahnya untuk studi banding. Saran itu berkaitan dengan dipisahkannya lembaga riset dari kemendikti, yang nantinya lembaga riset akan menjadi lembaga sendiri dengan nama BRIN yang berfokus pada riset. 

Menurut Saya, penghambat utama dari kemajuan pengetahuan di Indonesia adalah iklim politik yang semakin tidak kondusif. Di lain pihak, banyak pengusaha kelas kakap yang tidak memperdulikan perkembangan motorik anak, sehingga generasi penerus selalu disuguhkan oleh tayangan yang tidak bermutu, mendidik pun tidak. Itulah kenapa pada tulisan Saya sebelumnya, Saya menyoroti peran KPAI dan KPI, karena peran dua lembaga itu sangat berpengaruh terhadap kualitas konten yang diterima oleh generasi penerus.

Selama ini peraturan di Indonesia selalu tumpang tindih, carut marutnya birokrasi membuat banyak perusahaan global ogah listing di Indonesia, banyak pula perusahaan raksasa yang ogah mendirikan kantornya di Indonesia. Dulu Saya pernah diberi tahu oleh seorang kenalan, katanya, banyak perusahaan besar global ogah listing dan mendirikan kantor di Indonesia karena birokrasinya tidak jelas, aturan pajak yang berubah-ubah, ditambah lagi dengan kepentingan politis. Maka dari itu, banyak perusahaan besar global yang lebih memilih Singapura sebagai 'tempat tinggalnya' ketimbang Indonesia.

Seharusnya pemerintah Indonesia banyak belajar dari berbagai pengalaman, bagaimana bisa negara seperti Indonesia akan maju jika pemangku kepentingannya diisi oleh orang-orang rakus, tidak berkompeten, tidak berkapasitas, lebih mementingkan diri dan golongannya sendiri. Angan-angan berdikari, swasembada pangan, dll hanya sekedar mimpi yang tak berkesudahan.

Ekonom senior Faisal Basri juga mengingatkan Jokowi, jangan sampai Jokowi dijuluki Presiden pengumbar janji. Dikutip dari laman Tempo, Faisal menyoroti pernyataan Jokowi dalam pembukaan Hannover Messe yang berkata bahwa dalam kemajuan revolusi industri 4.0 Indonesia akan menuju sepuluh besar kekuatan ekonomi global pada tahun 2030. Faisal menekankan bahwa kesejahteraan masyarakat yang harus diprioritaskan, bukannya malah menebar janji-janji yang baru.

Dipilihnya India oleh Tesla menunjukkan betapa sangat kurangnya sumber daya manusia dan juga riset yang dimiliki oleh Indonesia, maka dari itu pemerintah harus lekas berbenah. Proses berbenah ini pun tidak singkat, dibutuhkan waktu belasan hingga puluhan tahun untuk mengeluarkan Indonesia dari penyakit politik yang sudah sejak lama melumpuhkan negara ini.

Dan, bagaimana cara untuk menyembuhkannya? Saya ibaratkan seperti bangunan sebuah rumah. Untuk membuatnya berdiri kuat, kokoh, berarti harus membuat pondasi yang baru. Karena jika pembangunan digenjot tapi pondasinya tidak diganti, hal itu akan menyebabkan bangunan mudah rusak jika terjadi gempa (misalnya resesi global). Mengganti pondasi yang lama dengan yang baru berarti berkaitan dengan mental masyarakat, sedangkan untuk memperkuat mental diperlukan banyak literasi, riset, untuk merubah pola pikir masyarakat. Itulah sebabnya Saya juga menyoroti komersialisasi pendidikan pada tulisan "Indonesia Punya Silicon Valley, Mungkinkah?", karena semua lembaga/kementerian harus saling bersinergi, saling koordinasi, bekerja sama untuk mewujudkan kualitas sumber daya manusia yang jauh lebih baik di Indonesia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun