Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hijab, antara Sunnah, Wajib, dan Budaya

28 Januari 2021   19:17 Diperbarui: 28 Januari 2021   19:21 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar via This is Gender

Agama lagi-lagi menjadi salah satu isu yang selalu sukses menyita perhatian publik. Melalui kasus seorang siswi di Padang, yang dipaksa berhijab oleh pihak sekolah, kembali memantik perhatian dari orang banyak, terlebih di media sosial. Efek dari kasus itu pun terus bergulir, hingga yang sempat membuat heboh ialah, cuitan dari Abu Janda.

Perkara hijab ini sebenarnya ada di agama-agama selain Islam, contohnya Yahudi dan Kristen Ortodoks. Umat dua agama itu juga mengenakan hijab, yang membedakan mungkin hanya cara memakainya saja. Dan perihal hijab ini, setahu Saya bukan sebuah kewajiban. Loh, kok bisa? Biar Saya jelaskan di bawah ini.

Ketika kita menerima suatu kabar, ada baiknya kabar itu ditampung layaknya kedua telapak tangan seperti hendak menadahi air wudhu. Tapi bukan berarti kabar itu bisa kita terima dan konsumsi mentah-mentah. Dan kabar itu bisa datang dari mana saja, serta dari siapa saja. Ada baiknya kita mengamati tanpa membantah terlebih dahulu, karena bagi sebagian kaum, adab itu nomer satu. Namun bukan berarti kita tunduk tanpa mencari tahu, tanpa bertanya, dan tanpa berguru. Begitu pula dengan agama, yang dikabarkan lewat Al-Qur'an.

Kita mungkin mengenal namanya, yaitu Muhammad. Mungkin juga kita mengenal nama sahabatnya, Ali dan Abu Bakar. Tapi bukan berarti kita bisa menerima Al-Qur'an tanpa unsur penelaahan. Quran dulunya datang dengan wujud gundul, lalu semakin berganti masa, ditambahi dengan harokat-harokat. Agar apa? Agar kita bisa membacanya, dan mengetahui artinya, serta membedakan maknanya. Kabar itu bernama Quran. Sedang Muhammad, Ali, Abu Bakar, dan juga penambah harokat adalah pembawanya. Kita tidak boleh menerima kabar itu dengan polos, hingga mengabaikan makna tersurat dan tersiratnya. Karena memang seperti itulah yang dinamakan kering, Al-Qur'an Si Kitab Kering.

Lalu, bagaimana cara kita untuk membuatnya menjadi basah? Jika dianalogikan sebagai tanah yang tandus, maka hadist dan tafsir adalah airnya. Air yang akan membuat tanah tandus itu menjadi basah, sehingga kita lebih mudah untuk menelaah kandungannya. Membaca saja tidak cukup, mengerti artinya saja tidak cukup, urusan "kabar" tidak seremeh itu. Dan untuk menelaah tanah tandus yang sudah basah, kita membutuhkan ranting, atau sekop, bahkan dengan kuku kita sekalipun.

Mereka berkata bahwa umat islam harus kembali pada Qur'an dan Sunnah. Tapi Qur'an yang seperti apa? Sunnah yang bagaimana? Apakah Qur'an tanpa tanda baca, atau Sunnah tanpa penuturan? Ini yang patut kita pertanyakan dari sebuah kabar. Kembali ke Qur'an dan Sunnah saja tidak cukup, kita memerlukan tafsir, hadist. Maka dengan begitu, beragama bukan hanya sekedar mempunyai agama, tapi mengerti esensi serta tujuannya.

Katanya mulut perempuan adalah aurat, sehingga harus ditutupi dengan cadar. Tapi apakah benar kabar itu? Menutupi aurat dengan cadar? Bagaimana bila yang dimaksud menutupi aurat (mulut perempuan) adalah dengan tidak berkata kotor? Tidak boleh mengghibah? Tidak boleh memfitnah? Katanya mata perempuan juga termasuk aurat, maka harus ditutupi dengan burqa.

Bagaimana bila yang disebut menutup mata adalah memalingkan pandangan dari hal-hal yang dilarang? Menatap sinis ke orang lain? Memberikan tanda dalam sebuah kecurangan? Pernahkah kita berpikir ke arah itu? Jika mereka yang membawa kabar palsu itu menentang logika, bagaimana dengan dalil aqli? Bukankah islam sendiri memperbolehkan kita untuk menggunakan logika? Logika yang disertai literasi. Logika yang mempunyai dasar. Tentu islam sangat memperbolehkan logika yang demikian. Karena apa? Kita adalah penerima kabar, sedang pembuat kabar sudah lama sekali mati.

Melafalkan ayat-ayat suci tidak cukup hanya dengan bersuara saja. Kita diwajibkan untuk memahaminya, mengerti batasan-batasannya. Sehingga yang kita lafalkan tidak hanya sampai di kerongkongan, melainkan sampai ke dalam jantung kita, ke dalam diri kita. Seperti halnya Qur'an yang tidak menyebutkan perintah sholat dengan tata caranya. Tata cara sholat, bacaan, wudhu, kita dapatkan melalui Muhammad dan juga sahabat yang menceritakan serta mengajari. Seperti itulah membaca, memahami, serta mengamalkan kandungan Qur'an dalam kehidupan sehari-hari.

Ada lagi. Kata mereka bunga bank itu haram, atau yang biasa dikenal riba. Orang islam dilarang untuk berhubungan dengan yang namanya riba, karena ancaman siksa di neraka telah menanti. Mungkin itulah sebabnya para miliarder Middle East tidak pernah mengambil bunga yang disimpan di Swiss Bank. Karena mereka menerima kabar kering. Beragama tanpa mempelajari.

Namun saat ini, bunga bank itu sudah diambil oleh para miliarder, dan menyerahkannya untuk kegiatan sosial. Kiranya apa yang membuat basah? Tentu tafsir dari para Ulama Middle East. Bunga bank yang tadinya tidak diambil itu, digunakan oleh Swiss Bank dalam hal kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun