Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Kamu, Nafsu, dan Birahiku

28 November 2020   12:22 Diperbarui: 28 November 2020   12:26 274
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku tak tahu, apa yang sedang terjadi padaku. Hening. Tak ada suara. Tak ada cahaya. Waktu pun berhenti. Seolah membiarkanku tenggelam.

Aku lihat kupu-kupu menari, terkadang bersemayam pada mawar hitam. Sedang para kumbang tak bergerak, seperti sedang menyaksikan pertunjukan. Mereka diam melihatku duduk di sini, mungkin Aku terlihat aneh bagi mereka. Bajuku serba putih, kulitku dingin seperti es, warnanya pucat. Sedang tubuhku? Aromanya menyeramkan.

Aku ingin sekali menyapamu, wahai seseorang. Tapi rasanya kau sudah tak lagi mengenaliku.

Aku melihatmu tertawa, tersenyum, dengan kekasihmu yang baru. Bergandengan tangan, berpelukan. Aku lihat kau mencium keningnya. Senyuman itu, Aku ingat, adalah senyuman terindah yang dulunya kau berikan kepadaku setiap hari.

Tapi Aku tidak bisa menangis. Aku hampir tak merasakan apapun.

Aku ingin sekali mendekat, merasakan aroma nafasmu. Menyentuh bibirmu, mencium keningmu, merasakan lembutnya kulitmu, menikmati kehangatan yang nyaris tak Aku ingat.

Baca juga: Rumus Rumit Perkara Seks

Badanmu yang wangi, keringat yang membasahi sekujur tubuhmu, dengan bahasa isyarat di dalam gelap. Kau begitu cantik ketika mendesah, sorot matamu mampu menghipnotisku, membuatku ingin lagi, dan lagi.

Seksinya tubuhmu tak terkalahkan, wanginya lehermu tak ada yang menandingi, kecupan bibirmu sungguh nikmat tiada tara. Lidahmu yang melumat seakan membunuhku, membuatku menggila ketagihan setengah mati.

Aku tak meminta untuk kau ampuni, malah Aku mempersilahkanmu untuk melucuti setiap inchi jasadku, yang sudah Aku serahkan sepenuhnya hanya untukmu. Diperbudak oleh desahan-desahan merdumu pun, Aku rela. Tak ada yang bisa merebut kesetiaanku kepadamu.

Baca juga: "Jalur Alternatif" Menuju Seks

Tapi Aku tidak bisa mendekat, manisku. Tembok kaca ini menghalangi, mengasingkan diriku untuk selamanya. Berkali-kali Aku ingin menghancurkan, tapi tak pernah berhasil.

Semoga kau bahagia, dengan kekasihmu yang baru. Aku sudah cukup puas, ketika kau letakkan bunga-bunga beraroma wangi di dekat batu nisanku.

Jangan nakal, sayangku. Aku selalu mengawasimu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun