Ketika saya berada di Bogor selama tiga bulan, saya diberi tugas untuk mengurus perkara dapur. Tugas itu tidak serta merta dibebankan kepada saya, karena saya sendiri berasal dari keluarga yang mempunyai usaha kuliner, sedangkan saya sendiri bisa memasak.Â
Selama tiga bulan itu, saya terbiasa berbelanja kebutuhan dapur, memasak, menyiapkan makanan, mencuci piring, menyapu, mengepel lantai, bahkan mencuci pakaian.Â
Yang perlu dicatat adalah, saya melakukan semua itu atas kesadaran saya sendiri. Dan, apakah di lingkungan itu tidak terdapat seorang wanita satupun? Tidak ada, semuanya laki-laki. Dan kami pun, terkadang membagi tugas.
Misalkan suatu hari saya sedang demam, maka teman saya yang lain (pria) meng-handle urusan dapur, menyapu. Misalkan lagi tempat yang kami tinggali pada suatu hari sangat kotor, dan saya yang bisa menyapu dan mengepel, saat itu bangun tidur jam 11 siang.
Teman saya yang lain bersedia untuk mengepel lantai (mengerjakan tugas yang biasa saya lakukan, membersihkan sampah di dapur. Kami (pria) saling membantu, saling mengisi, karena memang pada kenyataannya, pekerjaan seperti itu tidak selalu identik dengan wanita/istri. Kita semua bisa melakukan hal yang sama, tergantung diri kita "mau" atau "tidak".
Ketika di rumah pun, saya melakukan hal yang sama. Bahkan, kakak dan ipar saya (suami-istri) sering membagi tugas dan bertukar peran rumah tangga. Kakak saya yang pria, dia sering mencuci pakaian milik istri dan anaknya, menjemur pakaian, memandikan anak.Â
Kegiatan itu dilakukan bukan berarti "suami takut istri", tapi lebih ke saling melengkapi. Istrinya pun, dia bekerja untuk membantu kakak saya dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga serta biayanya.Â
Persoalan tukar peran rumah tangga juga terjadi kepada kakak-kakak saya yang lain. Bahkan sepengamatan saya, rata-rata tetangga yang sudah berumah tangga pun, melakukan hal yang sama.
Ada cerita unik ketika saya memposting artikel tentang feminis di akun instagram. Kala itu, ada seorang feminis yang berkomentar, intinya dia kontra terhadap tulisan yang saya buat.Â
Tulisan saya membahas beberapa ibu-ibu yang melakukan pekerjaan kasar yang biasa dilakukan oleh pria (kuli bangunan). Saya menuliskan "Bisa dan mau gak feminis seperti ini?"
Namun sayangnya orang itu menganggap bahwa saya melanggengkan budaya patriarki, dan dikira pemikiran saya misoginis. Dia berkata "Aduh pertanyaannya kok gini ya? Gak melek realitas banget.Â