Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Feminisme Setengah Matang dalam Kisruh Rumah Tangga

31 Oktober 2020   03:13 Diperbarui: 31 Oktober 2020   21:54 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada topik cukup menarik di Kompasiana hari ini, yaitu tentang bertukar peran rumah tangga. Kenapa saya bilang menarik? Karena topik pilihan kali ini tidak akan jauh pembahasannya dari feminisme. Dalam beberapa artikel yang saya buat, saya melontarkan kritik pedas ke kaum feminisme, khususnya feminisme "setengah matang".

Dalam lini media sosial, saya sering menemui kaum feminisme yang egois, bahkan kalau saya boleh menilai, kaum itu merupakan kaum feminis yang sangat kolot pemikirannya. 

Mereka menyerang wanita yang memilih untuk membuatkan bekal untuk suaminya, memilih untuk menyusui, bahkan memilih meninggalkan karier demi menjadi ibu rumah tangga seperti wanita lain pada umumnya. 

Yang membuat saya semakin heran adalah, mereka menyerang wanita yang memilih itu dengan mengkaitkannya ke dalam cabang ilmu feminisme. Katanya wanita tidak harus di dapur, katanya wanita tidak harus menyusui anaknya, katanya wanita tidak harus mengurus rumah tangga.

Pemilihan diksi "tidak harus" merupakan sebuah diksi yang menggambarkan "pilihan", dan bagi mereka yang membuat bekal, menyusui, dan menjadi ibu rumah tangga adalah sebuah "pilihan" yang sudah dipilih oleh masing-masing personal. Kenapa pula harus dipermasalahkan pilihan itu? Inilah poin yang sering saya kritik dari kaum feminis setengah matang.

Bukannya apa-apa, saya sangat menyayangkan jika hal yang mereka permasalahkan hanya dijadikan kedok dari ketidakbecusan mereka (feminis setengah matang), yang akhirnya akan bermain victim blaming seolah wanita tidak harus bisa memasak (melakukan pembelaan diri). 

Padahal, dalam sebuah rumah tangga, istri yang bisa memasak mempunyai nilai lebih di mata suami. Toh, jika pada akhirnya sang istri tidak bisa memasak, itu tergantung dari kesepakatan masing-masing suami-istri. 

Namun satu yang terlupakan, ketika istri (dan suami) tidak bisa memasak, artinya mereka akan menambah beban finansial karena harus membeli makanan setiap hari. 

Jika keduanya memiliki karir yang bagus? Tidak masalah mereka ingin membeli makanan sampai ajal menjemput. Tapi kalau keduanya sama-sama "pas-pas"an dalam hal financial? Justru akan menambah beban yang ada.

Setiap wanita/istri bebas menentukan pilihannya dalam ranah rumah tangga, maka akan sangat konyol jika "feminis setengah matang" mempermasalahkan pilihan itu oleh sebab dirinya tidak bisa melakukan hal yang sama.

Berbicara bertukar peran, sebenarnya dalam ranah rumah tangga, hal itu sudah biasa terjadi di Indonesia. Dan dalam banyak kesempatan, pasti kalian pernah melihat wanita/istri yang melakukan perkerjaan yang sebenarnya biasa dilakukan oleh kaum pria. Dalam artikel kali ini, saya ingin membagikan pengalaman saya bertukar peran rumah tangga dengan wanita/istri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun