Mohon tunggu...
Hara Nirankara
Hara Nirankara Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Buku
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penulis Buku | Digital Creator | Member of Lingkar Kajian Kota Pekalongan -Kadang seperti anak kecil-

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Lemah Syahwat" Seorang Budiman Sudjatmiko

24 Oktober 2020   18:49 Diperbarui: 24 Oktober 2020   18:53 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Stigma otoriter tersemat dalam kepemimpinan Presiden Jokowi sejak periode pertama, bahkan pemerintahan Jokowi disamakan dengan rezim Orde Baru Soeharto. Stigma itu bukan tanpa alasan, karena banyak kebijakan dari pemerintahan Jokowi yang dinilai merampas kebebasan publik. Hal itu bisa dilihat dari mulai adanya pendataan data pribadi ketika ingin membuat akun media sosial, registrasi kartu prabayar dengan menggunakan NIK dan KK, hingga pembentukan Badan Siber Nasional guna meminimalisir menyebarnya konten hoax.

Kebijakan lain yang menimbulkan persepsi rezim otoriter yaitu, dengan disahkannya UU ITE yang justru dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menuntut korbannya. Ada banyak kasus yang timbul akibat pasal karet yang terdapat dalam UU ITE. Disahkannya UU MD3 juga tidak bisa dilepaskan dari terciptanya stigma rezim otoriter. Bahkan, banyak kasus konflik agraria yang berakhir dengan penangkapan aktivis dan petani, menambah daftar hitam dalam catatan kepemimpinan Presiden Jokowi periode pertama.

Tak berhenti sampai di situ, admin-admin media sosial yang lantang menyuarakan kritik ke Pemerintah, juga mendapatkan perlakuan yang sama, yang berakhir pada hukuman penjara. Bahkan, penggunaan buzzer guna menyerang siapa saja yang dianggap melawan Pemerintah, juga menambah daftar panjang kasus pembungkaman selama periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi.

Setelah kepemimpinan Presiden Jokowi berlanjut pada periode kedua, stigma otoriter semakin santer terdengar. Imbasnya? Tingkat kepercayaan publik kepada instansi kepolisian menurun, tingkat ketidakpuasan publik terhadap kinerja Jokowi meningkat. Bahkan, saat ini kemenkominfo tengah menggodok PerMen yang nantinya akan mengatur teknis pemblokiran media sosial yang sengaja memelihara konten hoax.

Namun dalam artikel kali ini, Saya tidak ingin membahas rentetan daftar hitam itu. Saya lebih tertarik menyoroti pernyataan dari seorang Budiman Sudjatmiko.

Seperti yang kita ketahui, Budiman merupakan salah seorang yang menentang pemerintahan Orde Baru, hingga Ia harus mendekam di dalam penjara. Selepas Soeharto turun, Budiman mulai melebarkan kiprahnya dalam panggung politik dengan bergabung ke dalam PDI Perjuangan. Menurutnya, tidak ada cara lain yang bisa merubah sebuah sistem pemerintahan kecuali dengan masuk ke dalam sistem itu sendiri. Cara-cara diplomasi, berjuang di dalam sistem itu sendiri, mencoba untuk dipraktekkan oleh Budiman. Namun sayangnya idealisme yang Ia miliki tidak berguna untuk pengambilan keputusan di Senayan.

Hal itu bisa dibuktikan dengan aturan-aturan yang dibuat, yang justru semakin membuat rakyat kecil sengsara. Sedangkan Budiman? Mungkin memang benar Ia menolak terhadap aturan yang sedang dibuat. Namun Ia punya power apa? Ibaratnya, Ia hanya secuil cahaya di dalam kegelapan. Suara yang Ia perjuangkan memang ada (atau mungkin saja ada), tapi sayangnya, suara Budiman kalah banyak dengan suara-suara yang lain di Senayan.

Laman Viva pada Kamis (22/10) memuat berita yang berjudul "Budiman Sudjatmiko: Infrastruktur Maju Jika Dibangun di Rezim Otoriter". "Mengeruk sumber daya alam, pendekatannya teknokratis, seolah-olah pembangunannya urusan segelintir orang pintar di Bappenas dalam comparative advantage, yaitu aku unggul membuat Indonesia unggul atas apa yang aku warisi, atas apa warisan yang aku terima, yaitu sumber daya alam yang bagus. Politiknya tentu saja diktatorial, itu pembangunan Orde Baru, dan rakyat itu objek pembangunan. Yang seperti itu bukan khas Indonesia," kata Budiman dalam webinar bertajuk 'Dari #ReformasiDiKorupsi ke #MosiTidakPercaya.

Menurut Budiman, setiap rezim otoriter pasti memiliki pekerjaan yang belum selesai, terutama mengenai hak asasi. Karena setiap rezim otoriter itu biasanya maju dalam bidang pembangunan infrastruktur, tetapi tidak begitu jika berbicara mengenai kebebasan dan hak asasi. Mencontoh negara seperti Korea Selatan yang pernah mengalami era otoriter, pemimpin yang diktator mampu menyelesaikan infrastruktur dengan sangat baik sehingga pemimpin selanjutnya di era demokratis sipil tinggal melanjutkan pembangunan lainnya, dikutip dari laman Viva.

Pernyataan Budiman Sudjatmiko tidak ada yang salah, jika kita bahas secara umum. Namun, apa yang membuat Saya berani mengkritisi peryantaannya?

Seperti yang kita ketahui, pembangunan infrastruktur era Jokowi mengalami kemajuan. Banyak proyek infrastruktur di era ini yang dikerjakan oleh Jokowi. Namun yang jadi catatan bagi Saya adalah, Budiman berada dalam partai PDI Perjuangan, yang artinya Budiman pro kepada Pemerintah saat ini. Lalu, kenapa Budiman kontra pada saat Soeharto berkuasa? Inilah yang menjadi sorotan bagi Saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun